Materi Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi Untuk UAS


PERAN DAN FUNGSI KPK , OMBUSMAN


SUATU ketika Ombudsman Republik Indonesia diangankan sejajar dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun kenyataannya, sampai sekarang Ombudsman RI belum banyak dikenal dan belum diketahui benar arti pentingnya, baik oleh masyarakat maupun penyelenggara negara umumnya. Sekalipun pernah ada usul agar dibuat slogan ‘Jika mengalami praktik maladministrasi segeralah berobat ke Ombudsman’. Konsep yang terkandung dalam slogan itu memiliki dua landasan hukum: UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Kini sekitar 150 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman. Meskipun lembaga itu menjadi keharusan di negara-negara demokrasi, tetapi gagasan itu berkembang juga di negara-negara berpaham lain, seperti RRC dan Vietnam.




Di Indonesia, upaya pembentukan lembaga Ombudsman oleh pemerintah dirintis di masa pemerintahan BJ Habibie, setelah pemerintahan Orde Baru lengser. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Komisi Ombudsman Indonesia (KON) diresmikan melalui Keppres No 44/2000, sebagai bagian dari program pembangunan demokrasi dengan menghidupkan mekanisme checks and balances.
Kekisruhan yang kita saksikan di hampir semua sektor kehidupan sekarang ini membuktikan makin menipisnya kepercayaan publik terhadap sesama dan terhadap kebijakan negara. Terorisme, premanisme, geng motor, demodemo mahasiswa, dan buruh, penolakan penggusuran, serta korupsi besar-besaran yang marak di lembaga-lembaga pemerintahan dan politik menimbulkan rasa cemas dan tidak nyaman bagi masyarakat banyak. Belum lagi perlawanan yang nyata-nyata ditunjukkan kepada yang pihak yang berwajib.


Sebenarnya Ombudsman RI ditantang ikut mengatasi, selain KPK, lembaga-lembaga sosial dan swadaya masyarakat dan tentunya segenap lembaga pemerintahan. Celakanya gesekan-gesekan antarlembaga berlangsung tanpa ada yang merasa berkewajiban menjadi perantara. Lewat media massa, rakyat bertindak sebagai juri. Quo Vadis Ombudsman?


Ombudsman tentu akan besar pula pengaruhnya terhadap perbaikan di lembaga-lembaga nonpemerintah. Seandainya kiprahnya mendapat dukungan penuh rakyat, seperti dukungan yang diperoleh KPK sekarang, pengaruhnya tentu amat kuat untuk perbaikan kinerja berbagai lembaga, baik publik maupun swasta. Dengan adanya Ombudsman dan KPK yang bertindak sebagai badan pengawas yang ideal, ke depan situasi sosial-politik dipastikan jauh lebih baik ketimbang sekarang.


KEWENANGAN DAN RAHASIA PROFESI


Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.


Di sisi lain, kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”), bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, baik Polri maupun KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Polri serta Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya memang memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi.
Namun, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam (Pasal 9 UU KPK: )


RAHASIA PROFESI


Kewajiban menyimpan rahasia jabatan adalah kewajiban moril yang sudah terjadi bahkan sejak zaman Hippokrates.
Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan, Indonesia sudah mengukuhkan peraturan/undang-undang tentang rahasia jabatan. Rahasia jabatan kedokteran diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966, yang mana mengatakan bahwa dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter.


Rahasia jabatan juga berlaku pada pekerjaan lain, misalnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam Peraturan Pemerintah no. 30 tahun 1980 dinyatakan bahwa PNS wajib menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, rahasia jabatan sedikit berbeda bila dalam pengadilan. Dalam persidangan, kewajiban menyimpan rahasia jabatan itu ditiadakan. Misalnya, seorang notaris dalam persidangan, haruslah memberikan keterangan sejelas-jelasnya bila dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus pajak.


HARTA BENDA KORUPTOR , PENGEMBALIAN UANG KORUPSI DAN PEMBUKTIAN TERBALIK


Harta pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) harus disita dan dibekukan. Namun, banyak koruptor yang karena terlambat hartanya disita dan dibekukan akhirnya, menggunakan uang hasil kejahatan tersebut untuk menyuap aparat penegak hukum. Bahkan, koruptor itu tidak segan untuk menyewa tukang pukul bayaran dengan tujuan mengancam pihak yang telah mengungkapkan kejahatannya.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, di Jakarta, Selasa (6/3). “Dalam suatu perkara korupsi, apabila KPK menduga kuat bahwa koruptor berpotensi besar memindahkan, bahkan melarikan harta benda hasil korupsi, tentu tidak ada jalan lain untuk segera menyita dan membekukan harta tersebut jauh-jauh hari sebelum hilang tidak jelas rimbanya,” kata Didi.


Harta pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) harus disita dan dibekukan. Namun, banyak koruptor yang karena terlambat hartanya disita dan dibekukan akhirnya, menggunakan uang hasil kejahatan tersebut untuk menyuap aparat penegak hukum. Bahkan, koruptor itu tidak segan untuk menyewa tukang pukul bayaran dengan tujuan mengancam pihak yang telah mengungkapkan kejahatannya.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, di Jakarta, Selasa (6/3). “Dalam suatu perkara korupsi, apabila KPK menduga kuat bahwa koruptor berpotensi besar memindahkan, bahkan melarikan harta benda hasil korupsi, tentu tidak ada jalan lain untuk segera menyita dan membekukan harta tersebut jauh-jauh hari sebelum hilang tidak jelas rimbanya,” kata Didi.


Dia mengapresiasi putusan hakim terhadap Gayus Tambunan yang merampas harta-harta Gayus karena tak dapat dibuktikan keabsahannya. “Putusan itu diharapkan dapat memberi efek jera terhadap pegawai negeri sipil lain agar tidak mencoba menyimpang dalam menjalankan tugas sebagai aparat birokrasi. Apalagi selama ini koruptor kerap menimbun harta sebanyak-banyaknya agar jika terjerat nantinya masih bisa menikmati harta hasil kejahatan tersebut setelah menjalani hukuman,” tukas Didi.


Didi menambahkan, putusan hakim yang menyita harta koruptor yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, bisa menjadi model untuk diikuti hakim lainnya di seluruh Indonesia. “Intinya, penyitaan dan pembekuan harta benda hasil kejahatan para koruptor besar lakukanlah di awal kasus, sebelum terlanjur hukum bisa dibeli atau dipermainkan dengan menggunakan uang hasil uang kejahatan tersebut


Bulan November 2006, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan perlunya ketentuan tentang pembuktian terbalik penanganan perkara korupsi dalam Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Menurut KPK, dalam pembuktian terbalik, yang melakukan pembuktian adalah terdakwa. Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Nantinya orang yang menuduh orang lain melakukan korupsi harus dapat menunjukkan buktinya, sebaliknya, pelaku yang dituduh juga harus dapat membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar.


Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan dalam Pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.


menurut J.E. Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya di pengadilan. Tanpa transparansi, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di Kepolisian dan atau Kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan.


Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi.


Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang pengadilan.


Selain itu, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sering menyulitkan proses pembukti¬an perkara korupsi. Oleh karena itu perlu ada langkah baru, salah satunya adalah menggunakan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin¬ciples), yaitu keseimbangan yang proporsional antara perlindungan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian, atas dasar bahwa harta kekayaannya diduga kuat berasal dari korupsi, maka tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah.


GUGATAN PERDATA DAN PUTUSAN VERSTEK


Panggilan menurut hukum acara perdata ialah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Meurut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan juru sita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (majelis hakim) yang dituangkan pada penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan.[1]


Dalam hal jurusita tidak bertemu dengan orangnya sendiri ditempat tinggalnya atau dimana dia berdiam, maka surat panggilan itu disampaikan kepada istri atau anak sah dari yang bersangkutan, setidak-tidaknya orang yang serumah dengan yang bersangkutan. Hendaknya orang yang menerima surat tersebut harus membubuhkan tanda tangan diatas berita acara panggilan tersebut. Yang menyangkut anak hendaknya dibatasi umurnya, ialah anak yang berumur 12 tahun atau lebih. Apabila dirumah yang bersangkutan tidak terdapat orang-orang yang disebutkan tadi maka barulah surat panggilan disampaikan kepada orang luar atau orang yang paling tepat dalam hal ini adalah ketua RT atau Kepala desa.[3]


Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas dari kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Sehubungan dengan itu, persoalan verstek tidak lepas kaitannya dengan ketentuan pasal 124 HIR (Pasal 77 Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv).


Pengertian verstek secara teknis ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir dipersidangan pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.[4]


Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat atau Termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan. Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.[5]


Perihal sahnya penerapan Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
2. Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.
3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi kompetensi[6]
4. Penggugat hadir di persidangan.
5. Penggugat mohon keputusan[7]



PENGADUAN , PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGHARGAAN


https://id-id.facebook.com/hendrysolmet/posts/218316238292959

TATA CARA PENGADUAN TINDAK PIDANA KORUPSI :


Dalam menjalani aktivitas sehari-hari dilingkup perusahaan mungkin kita melihat ada beberapa “oknum” pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi namun kita binggung bagaimana cara melaporkan kasus tersebut, berikut kami tampilkan tata cara pengaduan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) :


Landasan Hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mungkin memberantas korupsi tanpa bantuan dari segenap komponen bangsa, terutama dari masyarakat.
Menurut UU No.30/2002 , pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas TPK melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku (pasal 6).


Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
1. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
2. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 ( Satu Milyar Rupiah).( Pasal 11)


Secara khusus peran serta masyarakat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2000 , tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK)


Peran Serta Masyarakat
Setiap orang, organisasi masyarakat & LSM berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan TPK, serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) atau KPK.


Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus dilakukan secara bertanggung-jawab ( PP No. 71/2000 Pasal 2 ayat 2) , dan disampaikan secara tertulis dan disertai dengan :
Nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau pimpinan LSM dengan melampirkan fotokopi KTP atau identitas diri lainnya, dan..
Keterangan mengenai dugaan pelaku TPK dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
( PP No.71Tahun 2000 Pasal 3 ayat 1)


Tata Cara Penyampaian Pengaduan

Format penyampaian pengaduan

Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan, tetapi untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu perkara, maka pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa pengaduan tertulis.
Identitas pelapor/pemberi informasi pengaduan
Untuk memudahkan tindak lanjut, dan jika diperlukan adanya penjelasan lebih dalam, maka wajib disertakan identitas diri pelapor. Identitas yang perlu disampaikan dalam pelaporan, mencakup:
Nama, Pekerjaan, Alamat rumah dan Tempat bekerja, Telepon yang dapat dihubungi, serta identitas lain yang dianggap perlu.


Pengaduan melalui telpon, Fax, e-mail, dan SMS akan ditindak-lanjuti apabila telah disusulkan dengan data lengkap, sesuai dengan PP No.71/2000 pasal 2 dan 3.

Pengungkapan Materi Pengaduan

Laporan setidaknya mengungkap jenis penyimpangan, fakta/proses kejadian, penyebab dan dampak (kerugian negara yang ditimbulkan)

Alat dan barang bukti

Jika ada, laporan dapat disertai alat bukti, Pasal 184 ayat (1) KUHP merujuk beberapa alat/barang bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Sedangkan didalam UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 26A , dikenal juga bukti lain (dan tidak terbatas pada) informasi/data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
Perlindungan Hukum pelapor/ pemberi informasi pengaduan


KPK mempunyai kewajiban untuk melindungi identitas pelapor tersebut (PP No.71 Tahun 2000, Bab.II Pasal 6 ayat 1) dan apabila diperlukan , atas permintaan pelapor, KPK atau Penegak Hukum dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya. (PP No.71/ 2000, Bab.II Pasal 6 Ayat 2)


Penghargaan

Kepada setiap orang, organisasi masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang telah membantu upaya pencegahan atau pemberantasan TPK dapat diberikan penghargaan berupa Piagam atau Premi, setelah putusan pengadilan yang mempidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap (PP No.71/2000, bab III pasal 7 s/d 11).
Pengaduan dapat disampaikan melalui :
PO.BOX : Kotak Pos 575, Jakarta 10120
Email : pengaduan@kpk.go.id
Telepon : (021) 2350 8389
Fax : (021) 352 2623
SMS : – 0811 959 575 (baca 0811 959 KPK )
0855 8 575 575 ( baca 0855 8 KPK K PK)


KORUPSI DISEKTOR PUBLIK


Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 12 (dua belas) instruksi kepada para pimpinan birokrasi. Diantaranya adalah instruksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang meliputi persayaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar.


Dalam Inpres tersebut, Presiden antara lain secara khusus menginstruksikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Presiden juga menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota agar meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.


Inpres itu sendiri hanyalah instruksi yang bersifat umum dan bukan bersifat teknis. Oleh karena itu, Inpres Nomor 5 Tahun 2004 perlu diterjemahkan masing-masing pimpinan birokrasi dengan mengeluarkan rumusan-rumusan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau aplikatif dalam pelayanan publik, sehingga pelayanan yang diberikan aparat birokrasi sesuai dengan harapan inpres tersebut, yakni pelayanan berkualitas dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Tulisan ini merupakan sebuah sumbang saran kepada para pimpinan birokrasi, bagaimana mencegah KKN di sektor pelayanan publik, dengan perumusan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau aplikatif.


Korupsi di Sektor Pelayanan Publik

Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon, pos, dan sebagainya merupakan sektor yang rentan terjadinya korupsi, karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Di sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum.
Pada hakikatnya korupsi beserta kembarannya yakni kolusi dan nepotisme bukanlah kegiatan sepihak, melainkan terjadi karena adanya hubungan, misalnya antara aparat pemerintah dengan pengusaha. Oleh karena adanya interaksi itulah, maka kemungkinan adanya KKN bisa terjadi, seperti tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi fiktif, manipulasi laporan keuangan, katabelece, transfer komisi, mark up, pemerasan, penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Sektor pelayanan pajak, misalnya, merupakan sektor yang dituding rawan korupsi. Di sana tempat terhimpun uang milyaran sampai triliunan rupiah dari para wajib pajak, sehingga ada saja oknum yang tergoda untuk menggerogotinya dengan berbagai cara. Perbuatan itu, bukan hanya dilakukan oknum aparat pajak, melainkan juga oleh para wajib pajak. Modusnya seperti menggangsir setoran pajak, tawar menawar nilai pajak sehingga pajak yang dibayar lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan, meminta persenan dari pemohon bebas pajak, memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya berkurang, pemalsuan faktur pajak, mengisi SPT dengan data yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan meminta pembenaran isi SPT itu dengan cara menyuap oknum konsultan pajak, maupun petugas pajak. (Tempo, edisi 13-19 Juni 2005).


Selain berupa korupsi, keluhan yang sering mengemuka terhadap sektor pelayanan umumnya adalah menyangkut kualitas pelayanan seperti sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit atau lamban, tidak transparan, kurang informatif, kurang simpatik dan akomodatif, diskriminasi pelayanan, tidak memiliki standar baku pelayanan, atau kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya.


Ironisnya, keluhan serupa juga dirasakan sendiri oleh para PNS yang nota bene adalah sejawat atau sesama aparat birokrasi pada saat menyelesaikan “urusan kepegawaian”, seperti usul kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala, usul jabatan struktural dan fungsional, cuti, bantuan kesejahteraan, dan sejenisnya. Keluhan itu seringkali dikaitkan dengan adanya “budaya amplop” yang harus disediakan jika mereka berurusan di BKD, BKN atau instansi terkait lainnya.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri kadangkala cukup panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang dikeluarkan untuk memperpendek birokrasi pelayanan itu. Atau bagi masyarakat yang enggan dengan birokrasi itu, kadangkala lebih memilih berurusan lewat perantaraan calo.


Akan tetapi, di kalangan bisnis dan birokrasi pemerintah juga telah lama berlaku prinsip simbisiosis mutualisme, dimana pengusaha berbagi rezeki dengan oknum birokrat. Karena prinsip itulah di kalangan dunia usaha dan birokrasi terjadi praktik suap yang maksudnya untuk memperoleh kemudahan memperoleh fasilitas atau dalam rangka memenangi persaingan bisnis. Dalam praktiknya, suap disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terima kasih kepada pejabat sebagai upaya menyamarkan perbuatan ilegal.


Pada dasarnya, suap menyuap itu tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau barang, akan tetapi juga dapat berupa janji atau penyediaan kesenangan kepada pejabat yang disuap.
Kondisi yang telah berlangsung lama itu tetap berlanjut hingga sekarang ini, praktik KKN tetap merajalela meski pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan segala perangkatnya pendukungnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Tim Pemburu Koruptor.



Perilaku korupsi identik dengan perilaku curang. Oleh karena itu perilaku korupsi sama hampir sama usianya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Di berbagai negara, baik negara kaya maupun miskin, negara maju, berkembang, maupun terkebelakang, korupsi jelas pasti ada. Yang membedakannya, diantara negara itu adalah tingkat intensitas korupsi dan dampaknya terhadap kehidupan bangsa dan negara.


Indonesia tersohor sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hal sil riset Transparency International yang berpusat di Jerman beberapa tahun terakhir masih menempatkan Indonesia di antara Negara paling korup di dunia.


Berdasarkan analis data statistik pada CPI 2004 yang dilakukan oleh Prof. Dr. Johann Graft Lambsdorf, sebagaimana dikutip dari Awang Anwarudin, Strategi Implementasi Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam jurnal Borneo Administrator, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2005, hlm. 121. Indonesia berada di urutan ke 10 dari negara-negara paling korup di dunia. Atau berada di urutan ke-3 negara terkorup di Asia setelah Bangladesh dan Myanmar.


Hutang yang besar, korupsi yang menggurita, dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih merupakan beban berat bagi bangsa ini. Pendapatan negara yang semestinya diperuntukkan untuk pembangunan, justru dalam jumlah besar digunakan untuk mencicil atau melunasi hutang. Dalam kondisi demikian itu, maka tidak mengherankan jika kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial masih jauh dari cita-cita.


Kalau dahulu praktik KKN banyak dilakukan pejabat tingkat Pusat (Jakarta), —karena di sanalah kewenangan dan uang negara terkonsentrasi, —- maka di era otonomi daerah, selain adanya desentralisasi kewenangan kepada daerah, malah terjadi pula “desentralisasi” korupsi yang memperkaya para elite daerah. Korupsi kini tidak lagi didominasi para pejabat tinggi di Jakarta, tetapi sudah menjadi bagian kehidupan pejabat daerah dan ironinya dilakukan secara “berjamaah” seperti yang dilakukan oleh kalangan DPRD di beberapa daerah.


Di era otonomi daerah, adakalanya dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka pemerintah provinsi, kabupaten dan kota mengeluarkan banyak Perda retribusi. Akan tetapi, banyaknya retribusi yang berlebihan justru bersifat “counter productif” karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, menimbulkan ketidaknyamanan publik; mulai dari rasa memberatkan sampai munculnya kecurigaan bahwa pemerintah daerah telah melakukan “pungutan liar” dengan cara yang “legal”. Meski pemerintah daerah melegalkan, mungkin saja perda retribusi itu bertentangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri.


Posisi publik yang lemah dapat menjadi sasaran empuk bagi praktik curang di sektor pelayanan publik. Oknum aparat dapat bermain dengan memeras publik yang berurusan dengan birokrat. Atau jika tidak, publik tidak memperoleh pelayanan yang semestinya, sampai mereka mau memberikan “amplop” atau janji tertentu kepada oknum aparat. Memang ada saja di kalangan publik atau dunia usaha yang menolak dengan tegas praktik suap dan sejenisnya, akan tetapi mereka itu menanggung risiko seperti tidak mendapat pelayanan yang simpatik, prosedur yang berbelit-belit sehingga terasa dipinpong kesana kemari, rugi waktu, tenaga dan biaya atau kalah dalam persaingan bisnis.
Sorotan juga dikenakan kepada pelayanan yang bersentuhan dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, jaksa dan hakim. Berbagai kasus praktik jual beli hukum dan keadilan mengakibatkan publik bersikap apriori dan skeptis jika berurusan dengan aparat penegak hukum. Sulit bagi rakyat kecil untuk memperoleh keadilan, apalagi ketika mempunyai permasalahan hukum dengan pejabat, karena hukum seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan pejabat tinggi yang korup. Akibat susahnya mencari keadilan, maka di kalangan rakyat kecil timbul pameo, bahwa “melaporkan kehilangan kambing akan berakibat kehilangan sapi”. Sementara itu, “KUHP” dianggap sebagai kependekan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Ironis memang.


Permasalahan peningkatan pelayanan publik sebenarnya mempunyai akar yang cukup kompleks. Para investor luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sering mengeluhkan rendah kualitas pelayanan yang diberikan.

Dirangkum dari berbagai sumber di Blog , tapi maaf saya lupa mencantumkan karena terburu buru (Bekasi , 3 Januari 2015 )

Posting Komentar

0 Komentar