15 Tahun Aku Dibesarkan Oleh Pembunuh Ayahku

Ditinggal oleh ayah yang sangat menyayangiku sebagai anak tunggal dalam keluarga, adalah sebuah pukulan berat. Terlebih enam bulan kemudian, ibuku yang sangat mencintai ayah juga tak sanggup kehilangan dan menyusulnya dengan cara bunuh diri.

Tidak ada satupun yang mau merawat dan membesarkan ku setelah ditinggal kedua orang tuaku. Kakek, dan bibiku tidak ada yang mau dan sanggup merawat ku dengan seribu alasan. Saat itu, aku merasa seperti anak yang tak berguna dan hanya pembawa sial bagi siapapun. Tak tahu harus apa, sementara rumah ini terlalu besar untukku sendiri di usia yang belum genap 10 tahun.

Akhirnya adik ayahku, paman memutuskan untuk membawaku pulang ke rumahnya. Aku hanya bisa diam dan mengikuti langkah paman. Setibanya di rumah paman, kulihat pemandangan yang menyedihkan. Ternyata dengan dua anak laki-laki dan istri paman selama ini hidup dalam kekurangan. Namun, semangat mereka untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya dan aku patut kuacungi jempol.

Aku bertekad untuk belajar dengan giat dan berusaha maksimal. Karena sadar bahwa aku bukanlah anak kandung paman. Jadi aku harus bisa membalas budi paman dan bibi yang telah mau merawat dan membesarkan ku. Menjadi orang tuaku melanjutkan kasih sayang yang telah hilang setelah kematian mereka berdua.

Ketika masuk SMA, paman memutuskan untuk menghentikan sekolah anak pertamanya, karena nilainya tidak cukup untuk masuk ke perguruan tinggi. Beliau mengajaknya untuk bekerja di bengkel untuk menemaninya, untuk membiayai sekolahku dan anak kedua paman. Keduanya sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, karena sangat menjagaku.

Selesai kuliah, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke program pasca sarjana. Namun, mengingat biaya tidak sedikit dan kasihan dengan paman dan kakak lakiku yang pertama, aku akhirnya mengurungkan keinginan mengambil kesempatan itu. Aku memutuskan untuk bekerja di luar kota yang menjanjikan gaji lumayan.

Setelah dua tahun bekerja, aku mulai mengenal laki-laki yang sangat ingin menjadikanku istri. Terlebih, setelah memutuskan untuk berhijab aku tak ingin berpacaran. Begitu juga calonku, tidak ingin mempermainkan diriku sebagai seorang muslimah. Setelah enam bulan saling mengenal dengan baik, laki-laki itu melamarku dan akupun langsung menyetujui lamarannya.

Kuajak calon suamiku untuk menemui paman, bibi dan kedua kakakku saat pulang ke kampung halamanku. Alhamdulillah semua mendukungku dan mengijinkan calon suamiku menikahiku. Bibiku, dengan sedih menangis dihadapan calonku. Beliau bagiku sudah seperti ibuku sendiri. Karena dengan tulus mau melanjutkan kasih sayang ibu yang telah pergi meninggalkan ku untuk menyusul kematian ayah.

Tiba hari pernikahan kami, paman dan keluarganya hadir sebagai waliku. Setelah akad nikah dan akan melanjutkan resepsi, kulihat paman menangis seperti tak sanggup melihat pernikahanku. Tentu aku bingung ada apa? Bibi yang segera menyusul paman juga bingung. Dibawanya aku ke sebuah ruangan oleh paman disaksikan bibi. Suamiku memberi kesempatan kami untuk berbicara bertiga saja.

Lalu paman dengan terisak menyampaikan sebuah rahasia yang selama 15 tahun dipendamnya. Sebuah rahasia tentang kematian ayahku yang mendadak mengalami kecelakaan yang berakibat kematian. Di situ, paman mengatakan, bahwa sebelumnya paman dan ayahku mendapat pembagian warisan dari kakekku. Namun, ayahku mendapat pembagian paling besar sehingga paman merasa tidak adil. Ayahkupun tidak peka dengan perasaan, padahal keluarga paman hidup dalam kekurangan.

Pada suatu hari menjelang kematiannya, pamanku ingin memberi pelajaran kepada ayahku, dengan mengendurkan rem motornya. Namun, demi menyelamatkan paman sebagai adiknya, ayahku memilih banting stir ke pembatas jalan. Fatal justru mengenai kepalanya dan langsung meninggal seketika di tempat.

Aku yang mendengar rahasia itu menjadi shock dan tak tahu harus berbuat apa. Aku menangis sejadi-jadinya karena merasa pamanlah penyebab kematian ayah dengan sengaja. Sehingga akupun harus kehilangan kedua orang tuaku kini. Namun, mengingat resepsi akan berlangsung aku berusaha menahan emosiku saat itu.

Tiga hari kemudian, aku mengajak suamiku untuk kembali pulang kampung menyusul paman dan keluarga yang sudah lebih dulu pulang sehari setelah pernikahan kami. Aku memang sempat tak bercerita, karena bingung harus bagaimana. 

Sesampainya di sana, aku dan paman bertengkar hebat. Bibipun ikut menyalahkan paman sampai pingsan berkali-kali tak sanggup melihat kemarahan ku. Kedua kakak laki-laki ku marah dan menganggap bahwa aku tidak berperasaan.

Mereka memintaku untuk bisa menerima ini semua sebagai bagian dari takdirNya. Suamiku yang mendengar semua pembicaraan kamipun, berusaha melerai dan menyadarkanku. Bahwa kematian itu Allah yang berkehendak. Jalannya lewat pamanku, yang awalnya hanya berniat memberi pelajaran pada ayahku. Ternyata, berakibat pada kematian.

Sehebat apapun rencana manusia jika Allah belum berkehendak tentu tidak akan ada kematian ayah. Namun, Allah lebih sayang pada ayah yang harus meninggal dengan cara seperti itu. Begitu juga ibu yang menyusul, karena rapuh imannya merasa cintanya pergi. Lalu ibu bunuh diri, padahal bukan itu yang Allah kehendaki. Semua punya waktunya kapan pergi atau mati, namun bukan diminta atau mematikan diri sendiri. Dan itu sudah berlalu.

Suamiku sambil memeluk dengan sayang mengatakan, bahwa rencana Allah lebih indah untuk umatnya. Pasti ada hikmahnya. Kalau tidak, tentu kami tidak akan pernah bertemu dan menikah. Itu adalah jalan dan bagian dari perjalanan hidupku. Suamiku mengajakku untuk memafkan paman dan keluarganya, dan melupakan semua sakit hatiku. Mungkin buatku pamanku adalah pembunuh, tapi mereka telah menebusnya dengan membesarkan ku dan merawat kulit Dengan amat baik.

Saat itu aku masih terpukul dan marah, namun baktiku sebagai istri membuatku harus merenungi semua kata-katanya. Belajar memaafkan dan menerima takdir Allah atas hidupku. Berjanji pada diri sendiri untuk lebih ikhlas melepas kematian orang tuaku selama ini. Karena bagaimanapun, Allah pemberi hidup manusia Dia juga yang berhak mengambilnya. Melalui jalan yang dikehendakinya. Tugasku hanya berusaha menerima takdir.

Semoga pembaca bisa mengambil hikmah dari kisah nyata kehidupanku.

Postingan ini diikutsertakan dalam One Day One Post bersama Estrilook Community'.
Diambil dari kisah inspiratif tribunnews.com

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Ceritanya bikin haru, walau fakta dibalik itu semua menyayat hati.
    Memaafkan dan ikhlas memang jalan yang harus dipilih. Karena insyaalah akan selalu indah pada akhirnya.

    BalasHapus
  2. Ikhlas dan menerima takdir, memang tdk mudah.

    BalasHapus