UAS Sudah Berlalu, PR Kita Apa Selanjutnya?

Pixabay


Belum juga berubah dari tahun ke tahun, semester ke semester. Setiap ada ulangan mid, semesteran, Akhir tahun selalu berulang karakter yang . . .membuat saya sedih. Entah ya bagaimana dengan stakeholder lainnya.

Rasanya kita sama, sebagai ibu juga guru di rumah. Bedanya, saya guru di sekolah. Fenomena yang selalu ada dari tahun ke tahun.

Tahukah emak? Bunda, ummi, mama, atau apapun sebutan orang tua di rumah. Maaf kalau saya salah, semua itu berangkat dari didikan di rumah. Ketika kita sudah mendidik anak sejak kecil dengan bingkai kejujuran rasanya inshaallah sampai besar akan terus tertanam jiwa bertanggung jawab dalam memperoleh ilmu.

Tapi, kalau kita bingkai anak kita "Harus berprestasi" untuk dipamerkan, dibanggakan, atau ditekankan ke anak kita. Percayalah . . .kami di sekolah menyaksikan mental-mental karakter menyimpang, atas nama "Harus Berprestasi" itu.

Rangking, piala, juara, piagam atau apapun yang kita bebankan ke anak itu terbawa sampai mereka dewasa. Karena takut dimarahi kalau nggak berprestasi, tak lagi jadi anak mama yang membanggakan, atau apapun, maka tumpahan pelampiasan di sekolah adalah memakai topeng kepalsuan. Nyontek, copypaste, bolos dari tugas-tugas berat, menghindari guru tertentu, tidak ikut ulangan, nongkrong di kantin, di warnet dan sebagainya.

Padahal ketika dikonfirmasi, dikonseling, diajak bicara dari hati ke hati, dipertemukan dengan orang tua, mereka sebenarnya mau diajak berpikir untuk memberikan yang terbaik loh bagi orang tuanya. Bahkan orang tua bilang dulu anak mereka selalu juara, rangking 10 besar, kenapa begitu masuk SMP, SMA atau SMK, atau perguruan tinggi jadi berubah? Mengecewakan?  apa yang salah? 

Padahal, dulu ketika kita orang tua  jadi mereka belum tentu juga bisa atau mau diposisikan seperti itu. Yang ada adalah,  timbulnya jiwa pemberontakan seperti yang sudah saya gambarkan di atas. Saya hanya menganalisa dari sudut pendidik. Sekaligus, saya juga orang tua di rumah bagi anak-anak saya.

Lalu? Bagaimana solusinya . . .kalau belum terlanjur dewasa. Yuk ubah niat tujuan anak sekolah. Utamanya adalah agar memiliki wawasan ilmu, dibandingkan kalau mereka tidak sekolah. Menanamkan kesadaran bahwa belajar itu untuk mereka sendiri, bukan untuk kita orang tuanya, gurunya, atau untuk kebanggaan semata. Karena mencari ilmu itu menggairahkan, membuat mereka jadi tahu bukan malah bosan, merasa terpenjara dan sebagainya.

KESADARAN, nah hastag yang selalu saya berikan ke siswa saya. Kalau sudah kesadaran, apapun permasalahan inshaallah ada jalan keluar atau solusi. Tanamkan konsep mereka adalah Pemenang bukan Pecundang.

Pemenang itu selalu cari solusi, siap mengakui, berefleksi dan,  di evaluasi tanpa ada kata TAPI dan NANTI. Pecundang, selalu sibuk cari alasan, pakai topeng, sibuk berdebat, banyak bicara dan tidak mau dievaluasi. Pemenang itu siap kalah atau menang dalam perjuangan meraih ilmu. Kalau kalah siap belajar lagi dan mengevaluasi dimana kesalahan untuk jadi pelajaran, kalau menang tidak lantas menjadi jumawa dan sombong, seperti ilmu padi " Makin berisi makin merunduk" mau berbagi, makin rendah hati. Karena kesombongan hanya milik Allah.

Disebut pintar, karena ada yang belum pintar, disebut bisa karena ada yang belum bisa. Ingat Thomas Alfa Edison itu berangkat dari pandangan sinis siapapun karena dianggap idiot, tidak mampu, tidak jenius, tapi? Kenyataannya? Kesabaran dan keyakinan ibunya akan prestasi anaknya yang tertunda mengalahkan mereka yang selama ini diakui pintar dan segalanya. Hasilnya? Lebih melegenda Thomas A. Edison karena belajar dari kegagalannya. Anak kita? Kalah sekali, bakal ngedown dan merasa hidup akan berakhir, waduuuh jauuuh padahal belum ada apa-apa nya dibanding Edison ya ma.

Mereka yang sekarang disebut sukses, raja keberhasilan, dulunya disebut raja kekalahan. Terpuruk dan bangkit dari kesalahan, kegagalan, menguatkan mental. Dibandingkan mereka yang terbiasa manis di awal, terbiasa mulus dalam perjuangan, tidak siap menerima pil pahit kegagalan, kejatuhan. Padahal, dalam pertandingan selalu ada kekalahan dan kemenangan.

Sehingga . . .bismillah saya kok yakin anak tanpa beban dan tekanan justru dengan kesadaran, hasilnya lebih maksimal daripada jika kita menuntut harus ini harus itu, karena malu. Masa ayah ibunya pejabat nilainya jelek, masa ayah ibunya ganteng anaknya jeblok, masa ayah ibunya sudah susah anaknya juga susah belajarnya
.
Dari ketiga anak saya, sejak kecilnya tidak membebani mereka harus jadi apa. Terpenting bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Anak laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, bukan lainnya. Saya nggak malu ketika sulung lewat 4 semester dari kewajiban seharusnya. Dan terus bersabar, mendoakan, serta memotivasi bahwa hidup adalah tanggung jawab pada diri sendiri dan Allah.

Dia menyadari kesalahannya setelah merasakan sendiri kesulitan dan risiko yang dihadapi, akibat kurang disiplin, tanggung jawab, dan mengabaikan nasehat orang tuanya. Sebagai orang tua? Ya saya tetap menerima dan memotivasinya. Karena saya yakin, kesabaran saya pasti ada ujungnya. Walau harus berliku menerima keberhasilannya yang tertunda.

Itu semua karena KESADARAN yang saya tanamkan. Coba deh ma-pa jangan  dibalik. Saya bicara ini karena saya sudah merasakan sendiri punya tiga anak laki-laki yang saya besarkan hingga mereka sudah kuliah sambil kerja saat ini. Berat memang mendidik, tapi kita sudah di amanahi bersyukur. Banyak pasangan suami istri untuk punya anak saja susah sampai hari ini.

Padahal apa sih yang dibawa mati nanti oleh kita? Ilmu bermanfaat, amal ibadah, dan ANAK SHOLEH  yang mengerti agama dan mendoakan kita nanti, bukan? Sejujurnya hanya itu. Bukan kekayaan, pangkat, rumah mewah, atau apapun yang membanggakan, kan, Mak?
Yuk mulai perbaiki, semoga renungan jelang akhir tahun ini bisa sedikit memperbaiki dan belum terlanjur.

Silahkan di share jika dirasa manfaat. Hanya sedikit masukan dari seorang mis Juli, guru  sekaligus orang tua dari ketiga anak Sholeh yang kini siap menjemput masa depan lebih baik, dengan bekal dan mental agama.

#gurudanperempuanpembelajar
#belajardaripengalaman
#orangtuamotivatorterbesarhidupanak
#savependidikananakindonesia

Posting Komentar

20 Komentar

  1. Betul miss Juli, penting ya kita sebagai orang tua membangun kesadaran dalam mendidik anak bahwa sekolah itu ya untuk menambah wawasan. Bukan semata untuk nilai akdemis yang tinggi shg lupa pada proses.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Dwi penting banget, akan lebih bermakna mereka yang memiliki wawasan seperti ini

      Hapus
  2. Dulu awal anak sekolah masih suka kezel kalau prestasinya enggak sesuai harapan...kini saat merekq sudah kelas 4 dan 8 sudah bisa menerima anak ada lebih kurangnya jadi ya musti dikembangkan sesuai potensinya.
    Terima kasih sudah mengingatkan Mis Juli..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mbak Dian, kita saling berbagi sharing yaa

      Hapus
  3. Penanaman nilai positif memang harus berangkat dari keluarga. Sekolah membantu untung mengembangkannya lebih luas lagi.Semua ini memang butuh dukungan dari semua orang agar generasi muda kita semakin baik dari sikap perilaku. Keren Miss, diingatkan kembali..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mbak Ati, berdasarkan pengalaman di sekolah

      Hapus
  4. Saya sendiri tipe pembelajar yang "haus prestasi" saat masih sekolah dulu. Tapi begitu jadi orangtua, alhamdulillah berhasil meninggalkan semua itu. Saya berusaha tidak menuntut tapi mengarahkan saja potensi anak. Karena yakin setiap anak punya potensi, dan zaman sudah tidak lagi hanya melihat prestasi akademik, tapi potensi, karakter dan keterampilan.Thanks sharingnya ya, Miss.

    BalasHapus
  5. Saya tipe ortu yang ngga terlalu musingon raport hehe. Yang penting sudah belajar dan anak hepi. Kita pun hepi. Anak gak semuanya pintar di akademis. Ada jg yabg pandai di bidang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju mbak Betty asyiiik kalau punya ortu easy going gini yaa

      Hapus
  6. Setuju banget nih, perlu disadari sebelum terlambat, semakin besar diberi kebebasan yang bertanggung jawab, dan ilmu yang bisa membuat mereka menyadari ilmu itu untuk dirinya sendiri...

    BalasHapus
  7. Setuju, saya juga termasuk orang tua yang gak mau terlalu menuntut anak untuk selalu jadi juara.
    Biarkan mereka menekuni segala hal mereka minati.

    BalasHapus
  8. Yesss...saya ke anak mengikuti perkembangan dan minatnya. Sebagai orang tua hnya mndukung apa yg diinginkn

    BalasHapus
  9. Masya Allah Ms Juli, terima kasih sudah mengingatkan. Waktu nemenin kk belajar selama PAS itu emang ampun deh. Keki bgt. Kecewa jg waktu bbrp nilai ulangannya jeblok. Tp pas ambil raport, biasa aja. G mikirin rangking. Tapi bbrp ucapan saya mungkin tdk menyenangkan buat kk. Mungkin membuatnya tertekan..ah menyesal sudah. Penyesalan memang selalu datang terlambat 😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum mbak Evita yuuu kita bareng edukasi ortu yang lain

      Hapus
  10. Benar Miss, sedari kecil sejak mengenal teori hypnoparenting dari sekolah. Saya selalu mencoba komunikasi dg anak memgambil titik bawah sadarnya, dengan memahami karakternya.
    Jadi berusaha tdk menuntut dan memaksakan kehendak.

    BalasHapus