Materi Persiapan UAS Pengantar Ilmu Pendidikan ( tambahan )


Aliran-aliran Klasik Pendidikan


Ada 4 aliran yaitu :

1. Aliran empirisme (aliran optimisme)


a. Tokoh John Locke.
b. Mengutamakan perkembangan manusia dari segi empiric yang secara eksternal dapat diamati.
c. Mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia.
d. Pembawaaan yang berupa bakat tidak diakui.
e. Pengalaman adalah sumber pengetahuan,
f. Manusia dilahirkan dalam keadaan kosong, sehingga pendidikan memiliki peran penting yang dapat menentukan keberadaan anak.
g. Aliran ini melihat keberhasilan seseorang hanya dari pengalaman (pendidikan) yang diperolehnya, bukan dari kemampuan dasar yang merupakan pembawaan lahir.

2. Aliran nativisme (aliran pesimistik)


a. Tokoh Arthur Schoupenhauer.
b. Perkembangan seseorang merupakan produk dari pembawaan yang berupa bakat.
c. Bakat yang merupakan pembawaan seseorang akan menentukan nasibnya.
d. Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran empirisme. Orang yang “berbakat tidak baik” akan tetap tidak baik, sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik.
e. Orang yang “berbakat baik” akan tetap baik dan tidak perlu dididik, karena ia tidak mungkin akan terjerumus menjadi tidak baik.


3. Aliran naturalism


a. Tokoh J.J. Rousseau.
b. Semua anak yang dilahirkan pada dasarnya dalam keadaan baik.
c. Anak menjadi rusak atau tidak baik karena campur tangan manusia (masyarakat).
d. Pendidikan hanya memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dengan sendirinya.
e. Pendidikan hendaknya diserahkan kepada alam.
f. Dalam mendidik seorang anak hendaknya dikembalikan kepada alam agar pembawaan yang baik tersebut tidak dirusak oleh pendidik.


4. Aliran konvergensi


a. Tokoh William Stern.
b. Bakat, pembawaan dan lingkungan atau pengalamanlah yang menentukan pembentukan pribadi seseorang.
c. Pendidikan dijadikan sebagai penolong kepada anak untuk mengembangkan potensinya.
d. Yang membatasi hasil pendidikan anak adalah pembawaan dan lingkungannya.
e. Aliran ini lebih realitis, sehingga banyak diikuti oleh pakar pendidikan.





PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP


Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan adalah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Pendidikan tidaklah selesai setelah berakhirnya masa sekolah, tetapi merupakan sebuah proses yang berlangsung sepanjang hidup. Jadi pendidikan seumur hidup merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh seseorang selama hidupnya.


Pendidikan seumur hidup tidak diartikan sebagai pendidikan orang dewasa, tetapi mencakup dan memadukan semua tahap pendidikan (pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pend. tinggi) dan jenis pendidikan. Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara informal, non formal maupun formal baik yang berlansung dalam keluarga, disekolah, dalam pekerjaan dan dalam kehidupan masyarakat. Dalam filsafat pendidikan seumur hidup dijelaskan bahwa tujuan akhir pendidikan seumur hidup adalah mempertahankan dan meningkatkan mutu hidup.
Konsep Pendidikan Seumur Hidup


Asas pendidikan seumur hidup merumuskan bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinu yang bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Menurut GBHN 1978 dinyatakan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat sehingga pendidikan seumur hidup merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.


Secara yuridis formal konsepsi pendidikan seumur hidup dituangkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 jo Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, dengan prinsip-prinsip pembangunan nasional :

1) Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah pembangunan jangka panjang).
2) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
3) Konsepsi manusia Indonesia seutuhnya merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional (UU Nomor 2 tahun 1989 Pasal 4) yakni pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.


Dasar Pendidikan Seumur Hidup , Dasar-dasar pemikiran long life education antara lain

a. Tinjauan ideologis : Setiap manusia hidup mempunyai hak asasi yang sama dalam hal pengembangan diri, untuk mendapatkan pendidikan seumur hidup untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan hidup


b. Tinjauan ekonomis : Pendidikan seumur hidup dalam tinjauan ekonomi memungkinkan seseorang untuk :

- Meningkatkan produktivitasnya
- Memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya
- Memungkinkan hidup dalam lingkunganyang sehat dan menyenangkan.
- Memiliki motivasi dalam mengasuh dan mendidik anak secara tepat
c. Tinjauan sosiologis : Pendidikan seumur hidup yang dilakukan oleh orangtua merupakan solusi untuk memecahkan masalah pendidikan. Dengan orang tua bersekolah maka anak-anak mereka
juga bersekolah.

d. Tinjauan Filosofis : Pendidikan seumur hidup secara filosofi akan memberikan dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

e. Tinjauan Teknologis : Semakin maju jaman semakin berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologinya. Dengan teknologi maka pendidikan seumur hidup akan semakin mudah. Begitu pula sebaliknya.

f. Tinjauan Psikologis dan Paedagogis : Pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai pelayanan untuk membantu pengembangan personal sepanjang hidup yang disebut development. Konseptualisasi pendidikan seumur hidup merupakan alat untuk mengembangkan individu-individu yang akan belajar seumur hidup agar lebih bernilai bagi masyarakat.

Tujuan pendidikan seumur hidup


1) Mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembaurannya seoptimal mungkin.
2) Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan manusia bersifat hidup dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung seumur hidup


Alasan Pendidikan Seumur Hidup diperlukan


a. Pertimbangan ekonomi
b. Keadilan
c. Peranan Keluarga
d. Faktor Perubahan Peranan Sosial
e. Perubahan Teknologi
f. Faktor Vocational ( Kebutuhan Ketrampilan menghadapi masa depan )
g. Kebutuhan kebutuhan orang dewasa


Arah pendidikan seumur hidup


1. Pendidikan seumur hidup kepada orang dewasa : Pemuda atau orang dewasa memerlukan pendidikan seumur hidup dalam rangka pemenuhan self interest yang merupakan tuntutan hidup mereka self interest antara lain: kebutuhan baca tulis, latihan dan ketrampilan.
2. Pendidikan seumur hidup bagi anak : Pendidikan seumur hidup bagi anak merupakan hal yang sangat penting karena anak akan menjadi tempat awal bagi orang dewasa nantinya. Program yang kegiatan yang disusun buat anak antara lain : kecakapan baca tulis, ketrampilan dasar dan mempertinggi daya pikir anak sehingga memungkinkan anak terbiasa belajar berpikir kritis dan mempunyai pandangan kehidupan yang dicita-citakan.


Implikasi Konsep Pendidikan Seumur Hidup pada Program-Program Pendidikan

Implikasi diartikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi dari suatu keputusan tentang pelaksanaan pendidikan seumur hidup. Menurut W.P Guruge dalam buku Toward Better Educational Management, implikasi pendidikan seumur hidup pada program pendidikan adalah :

a. Pendidikan baca tulis fungsional
b. Pendidikan Vocational ( Ketrampilan )
c. Pendidikan Professional
d. Pendidikan kearah perubahan dan pembangunan
e. Pendidikan kewarganegaraan dan kedewasaan politik
f. Pendidikan cultural ( Berbasis Budaya ) dan pengisian waktu senggang


NASIONALISME SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN


Pengertian Landasan Pendidikan

Landasan, istilah landasan mengandung arti sebagai alas, dasar atau tumpuan (kamus besar bahasa Indonesia, 1995:560). Istilah landasan dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa landasan adalah alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari suatu hal ; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Menurut sifat wujudnya dapat dibedakan dua jenis landasan yaitu : (1) landasan yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dsb.


Landasan yang bersifat konseptual identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak. (melakukan suatu praktek).


Landasan pendidikan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa landaan pendidikan adalah seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Sebagaimana telah kita pahami, dalam pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan.
Jenis-jenis Landasan Pendidikan


Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu dan hukum atau yuridis. Jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan dikelompokan menjadi :


1) landasan religious pendidikan,

Landasan Religius Pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari ajaran agama yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contohnya: Carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat/meninggal dunia.”Menuntut ilmu adalah fardhlu bagi setiap muslim.” (hadist). Implikasinya, bagi setiap muslim bahwa belajar atau melaksanakan pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu kewajiban.

2) landasan filosofis pendidikan,

Landasan filosofis Pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan

3) landasan ilmiah pendidikan, dan

Landasan ilmiah pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.

4) landasan hukum/yuridis pendidikan.

. Landasan Hukum/Yuridis Pendidikan, adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundanganan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dsb.
Landasan psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah psikologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh.”Setiap individu mengalami perkembangan secara bertahap, dan pada setiap tahap perkembangannya setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya.”Implikasinya, pendidikan mesti dilaksanakan secara bertahap, tujuan dari isi pendidikan mesti disesuaikan dengan tahapan dan tugas perkembangan individu/peserta didik.


Landasan Sosiologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh.” Di dalam masyarakat yang menganut stratifikasi social terbuka terdapat peluang besar untuk terjadinya mobilitas social. Adapun fakta yang memungkinkan terjadinya mobilitas social itu antara lain bakat dan pendidikan.”Implikasinya, para orang tua rela berkorban membiayai pendidikan anak-anaknya.
landasan antropologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah antropologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh : perbedaan kebudayaan masyarakat di berbagai daerah (misalnya: system mata pencaharian, bahasa, kesenian, dsb). mengimplikasikan perlu diberlakukan kurikulum muatan lokal.


Landasan historis pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau (sejarah) yang dijadikan titik tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa datang. Contoh ‘Semboyan “tut wuru handayani”. sebagai salah satu peranan yang harus dilaksanakan oleh para pendidik, dan dijadikan semboyan pada logi Depdiknas, adalah semboyan dari Ki Hadjar Dewantara (Pendiri Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1992 di Yogyakarta) yang disetujui hingga masa kini dan untuk masa datang karena dinilai berharga.


Landasan deskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (Dasein) yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu landasan pendidikan deskriptif disebut juga sebagai landasan ilmiah atau landasan pendidikan factual pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan antara lain meliputi ; landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologi pendidikan, landasan antropologi pendidikan, dsb.


Fungsi Landasan Pendidikan

Pendidikan yang diselenggarakan dengan suatu landasan yang kokoh, maka prakteknya akan mantap, artinya jelas dan tepat tujuannya, tepat pilihan isi kurikulumnya, efisien dan efektif cara-cara pendidikan yang dipilihnya, dst. Dengan demikian landasan yang kokoh setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual yang dapat merugikan akan dapat dihindarkan sehingga praktek pendidikan diharapkan sesuai dengan fungsi dan sifatnya, serta dapat dipertanggungjawabkan.


NASIONALISME DAN PENDIDIKAN NASIONAL


1. Karakteristik Nasionalisme

a. Batasan : Bangsa : Ernest Renang dalam ‘Qu’est qu une nation?’’ ( Apakah Bangsa Itu ? ) menegaskan bahwa bangsa adalah jiwa, suatu asas rohani, bangsa adalah suatu asas rohani yang timbul dari keadaan historis yang tersusun-susun secara mendalam, suatu keluarga yang mempunyai jiwa, bukan golongan yang ditentukan oleh keadaan pembentukan bumi. Jadi bangsa ( nation ) adalah suatu solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak, Dan bersedia untuk berkorban lagi. Bangsa-bangsa di dunia merupakan hasil tenaga hidup dalam sejarah, Karena itu merupakan golongan-golongan yang beraneka ragam dan tidak dapat dirumuskan secara pasti, karena bersifat dinamis. Kebanyakan bangsa-bangsa di dunia memiliki faktor-faktor obyektif, yaitu kesamaan-kesamaan :

a. Keturunan atau ras,
b. Bahasa
c. Daerah
d. Kesatuan
e. Adat – istiadat, atau
f. Perasaan keagamaan

2. Nasionalisme : Hans Kohn memandang kemauan hidup bersama sebagai nasionalisme, yaitu suatu paham yang memberi ilham kepada sebagian besar penduduk dan mewajibkan dirinya untuk mengilhami anggota anggotanya. Nasionalisme menyatakan bahwa Negara –kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah organisasi politik dan bahwa bangsa adalah sumber dari tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.

3. Perkembangan Nasionalisme : Hans Khon melukiskan garis besar sejarah perkembangan nasionalisme sebagai berikut : Nasionalisme adalah salah satu dari kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern.

Ciri Nasionalisme modern yang berkembang dibarat mempunyai tiga karakteristik, yaitu :

a) Cita sebagai bangsa terpilih
b) Penegasan bahwa mereka mempunyai kenangan yang sama mengenai masa lampau dan harapan yang sama dimasa yang akan datang.
c) Mereka mempunyai tugas khusus

4. Tipe Nasionalisme : Hans Kohn membedakan Nasionalisme dalam tiga kelompok, Yaitu :

a) Nasionalisme liberal, yang memperjuangkan kemerdekaan perseorangan dan kekuasaan kolektif ; Contohnya adalah Nasionalisme Inggris dan Ameika Serikat yang terkenal dengan deklarasi Kemerdekaan Amerika, 1776.
b) Nasionalisme Kerakyatan, nasionalisme persatuan , yang memperjuangkan kebebesan kolektif yang berkembang menuju pada kesetiaan kepada persatuan rakyat mengatasi ksetiaan pada perseorangan; contohnya Peransis yang berlandaskan pada prinsip ; persamaan, kemerdekaan, dan persaudaraan, dan indonesia yang berlandaskan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pancasila.
c) Nasionalisme totaliter, nasionalisme integtral, yaitu yang mengedepankan kekuasaan dan keutamaan mutlak masyarakat nasional daripada individu, dan menyatakan perlu adanya aksi yang tegas oleh suatu barisan pelopor yang bersatu-padu, berdisiplin dan cukup persenjataanya, terhadap suatu elit yang pada suau saat menentukan akan merebut kekuasaan; contohnya adalah adalah nasionalisme jerman Zaman Nazi, dan Nasionalisme Italia Zaman Fasisme.


Pendidikan Nasional Sebagai Perwujudan Nasionalisme

 Hak menentukan nasib diri sendiri dari setiap bangsa. Nasionalisme mencita-citakan Negara-kebangsaan, dan gerakannya dalam sejarah modern mrlahirkan bangsa-bangsa modern dengan membentuk negara kebangsaan yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kehendak untuk hidup bersama yang terkandung dalam nasionalisme dinyatakan atau diwujudkan dalam bentuk hak untuk menentukan nasib diri sendiri (right of self-de-termenination).
 Hak menentukan nasib diri sendiri diperkenalkan oleh Mancini, 1851, dan kemudian dipertegas oleh Woodrow Wilson, 1918, dan ahirnya menjadi dasar pokok dari piagam perserikatan bangsa-bangsa, 1945.
 Hak setiap negara kebangsaan menentukan nasib diri sendiri dilaksanakan dengan jalan menyusun dan melaksanakan sisitem sistem kehidupan bernegara kebangsaan. Dengan demikian, setiap negara kebangsaan membangun sistem politik nasional, sistem pendidikan nasional, dan sebagainya, yang sesuai dengan sejarah nasionalismenya masing-masing.


Karakteristik Nasionalisme Indonesia

a. Dokumen Resmi Pernyatan Kemerdekaan Indonesia:

1) Proklamasi 17 Agustus 1945, yang menyatakan kemerdekaan bangsa indonesia dari penjajahan asing serta cara perpindahan kekuasaan yang akan dilaksakan dengan cara yang seksama dan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
2) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan perbaikan Piagam Jakarta. Dalam
hubungannya dengan pernyataan kemerdekaan, Pembukaan UUD 1945 berisi:

a. Hak setiap bangsa memperoleh kemerdekaan (alinea 1)
b. Cara bangsa indonesia mencapai kemerdekaan, melalui perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia (alinea 2)
c. Kekuatan yang mendorong tercapainya kemerdekaan Indonesia yaitu rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan keinginan luhur untuk mencapaikehidupan kebangsaan yang bebas (alinea 3)
d. Cita-cita mengisi kemerdekaan dan dasarnya, yaitu negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasakan pancasila, yang pemerintahannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (tujuan nasional) untuk:

• Memajukan Kesejahteraan umum
• Mencerdaskan kehidupan bangsa
• Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (alinea 4).

Ciri-ciri Nasionalisme Indonesia

1) Nasionalisme kerakyatan / persatuan yang anti penjajahan. Pernyataan kemerdekaan yang dirumuskan oleh bangasa indonesia adalah pernyataan kemerdekaan bangsa, dan bukan pernyataan kemerdekaan perseorangan, seperti misalnyae Pernyataan Kemerdekaan Amerika, dan pernyataan tersebut anti penjajahan.
2) Nasionalisme kerakyatan / persatuan yang patriotik,yang regius. Nasionalisme Indonesia lahir dari perjungan gerakan kemerdekaan Indonesia dan bersumber dari Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur untuk membentuk kehidupan kebangsaan yang bebas.
3) Nasionalisme kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersendikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pancasila, yang dalam pelaksanaannya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tanah tumpah darah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan sosial.




KARAKTERISTIK SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA ( SPNI )

Karakteristik Sosial Budaya

a. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia (UU No 2 Th 1989, pasal 1, ayat (2)), yaitu kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya Rakyat indonesia, yang berbentuk:

1) Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan didaerah-daerah diseluruh Indonesia.
2) Kebudayaan baru yang dikembangkan menuju kearah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolaak kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia (Penjelasan Pasal 32, UUD 1995).
b. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebinekaan yang satu atau Bhineeka Tunggal Ika.

Karakteristik Dasar dan Fungsi

a. Dasar yuridis formal yang bersifat idiil adalah pancasila sebagai dasar negara, seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; dan yang bersifat regulasi atau mengatur bersumber pada pasal 31, ayat 1 dan 2, UUD 1945.
b. Fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional (UU No 2 Th 1989, pasal 3. Hal ini mengandung arti bahwa fungsi pendidikan nasional adalah:

 Memerangi segala kekurangan, keterbelakangan dan kebodohan;
 Memantapkan ketahanan nasional;dan
 Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan berlandaskan kebudayaan bangsa dan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an.

Karakteristi Tujuan , Pendidikan Nasional bertujuan:

 Mencerdaskan kehidupan bangsa
 Mengembangkan manusia indonesia seutuhnya
Karakteristik Kesisteman (sistemik)
 Pendidikan Nasional merupakan satu keseluruhan kegiatan dan satuan pendidikan, yang dirancang, dilaksanakan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional.
 Pendidikan Nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (UUD 1945, pasal 39). Untuk membuka kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya, Pendidikan Nasional mencakup baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
 Pendidikan nasional mengatur bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas tiga jenjang utama ( dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi).

PERJUANGAN PARA PERINTIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia

Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.

A. Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Dalam pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula gelombang pembaharuan dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan India. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar islam (Supriyadi, 2006 : 4.3).

Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing sekitar 50%.

Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.


B. Taman Siswa

Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.

Pendidikan Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebagai berikut.

1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.

Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.

C. Pendidian Ma’arif

Pendidikan Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal pendidikan Ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H. Abdul Wahab

hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi nama Taswirul Afkar. Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Mulanya Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula corak pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke kurikulumnya.


Muktamar II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan menolak bantuan dari Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam membentuk bagian khusus dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut Ma’arif. Sejak saat itu gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal yang coraknya banyak berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai berkembang dan ditangani secara sungguh-sungguh.

Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.


D. INS Kayutanam

Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.

Sekolah ini didirikan sebagai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan.

Olahraga yang mendapatkan tempat khusus di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir secara teratur.

Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan, hlm.778). INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”

INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat dan pembawaannya.

Prinsip tidak mengggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka.

Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang pada waktu itu berarti kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sederhana dan mungkin dalam serba kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian ditutup. Muhammad Syafe’i sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966



LANDASAN IDIIL DAN KONSTITUSIONAL , SEBAGAI LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA


Pentingnya landasan pendidikan diungkapkan oleh Tirtarahardja (2008:81), menurutnya landasan dan asas pendidikan sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa tertentu. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia yang berkarakter bangsanya dan mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara.

Landasan kebijakan dalam pendidikan mempunyai keterkaitan yang erat dengan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku pada suatu negara yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan mempunyai dasar hukum yang berperan tegas sebagai pedoman untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilaksanakan di suatu negara harus didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Bila suatu tindakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu, maka dikatakan tindakan tersebut melanggar hukum sehingga patut diadili, oleh sebab itu, suatu tindakan yang dilakukan akan dikatakan benar bila sejalan atau sesuai dengan hukum yang berlaku di negara bersangkutan (Pidarta, 2009:41).
Menurut Maunah (2009:17), Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang RI No.2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), beberapa Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Nasional, beberapa dan Peraturan Pemerintah tentang pendidikan.

Dengan demikian, landasan kebijakan pendidikan sangat penting perannya di dalam melindungi dan memberikan pengawasan terhadap kegiatan pendidikan agar dapat berjalan sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Maka dari itu, makalah ini dibuat untuk meninjau lebih lanjut mengenai bagaimana bentuk kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia dan bagaimana implikasi landasan kebijakan dalam pendidikan.

landasan kebijakan pendidikan merupakan seperangakat aturan yang memiliki dasar hukum yang tegas sebagai landasan atau pedoman dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Hubungan Kebijakan dan Pendidikan

pelaksanaan kegiatan pendidikan membutuhkan landasan kebijakan pendidikan suatu pedoman yang dapat berperan menjadi aturan dan dasar untuk merancang, menciptakan dan menghasilkan out put yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan. Maka dari itu, Bentuk landasan kebijakan pendidikan sangat mempengaruhi berbagai proses dalam pendidikan. Adapun landasan kebijakan pendidikan di Indonesia terdiri dari landasan ideal, landasan konstitusional, dan landasan operasional


A. Landasan Ideal / idiil

Dalam Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendiidkan dan pengajaran sekolah pada Bab III Pasal 4 tercantum bahwa landasan ideal pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahtearaan masyarakat dan tanah air atas dasar Pancasila.
Pancasila perlu ditonjolkan sebagai identitas bangsa Indonesia karena pada hakekatnya secara intrinsik Pancasila adalah kepribadian (identitas sistem kenegaraan RI dengan segala jenis implikasinya terhadap subsistem dalam negara). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ihsan (2005:120123) bahwan pendidkan nasional adalah sistem kelembagaan yang bertanggung jawab atas pengembangan dan pelestarian sistem kenegaraan Pancasila dan kebudayaan nasional. Dengan demikian, pentingnya Pancasila sebagai landasan ideal pendidikan perlu dipahami dan menjadi jiwa sebagai penggerak sistem pendidikan di Indonesia.

B. Landasan Konstitusional

Pendidikan nasional didasarkan pada UUD 1945 sebagaimana yang tercantum pada BAB XIII Pasal 31 ayat 1 : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan ayat 2: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Pasal 32 berbunyi : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 dapat dilihat bahwa pemerintah berusaha untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan landasan konstitusional yang termuat dalam UUD 1945, maka tujuan pendidikan diarahkan pada suatu keinginan untuk menciptakan suatu sistem pengajaran nasional yang disesuaikan dengan kebudayaan dan tuntutan nasional.

C. Landasan Operasional


Landasan operasional bagi pembangunan negara, termasuk pendidikan ialah ketetapan MPR tentang GBHN. GBHN disebut landasan operasional karena memberikan garis-garis besar tentang kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita, seperti yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. sebagai contoh pada TAP MPR No. IV/MPR/1973 dijelaskan tujuan pendidikan membentuk manusia-manusia pembangunan yang Pancasila dan untuk membentuk manusia Pancasila yang sehat jasmani dan roanilla, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan mengembangkan aktivitas dan tanggung jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD1945.

Landasan Kebijakan Pendidikan Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Diantara peraturan perundang-undangan RI yang paling anyak membicarakan pendidikan adalah
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sebab Undang-Undang ini bisa disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan. Undang-Undang ini mengatur pendidikan pada umumnya dari segala sesuatu yang bertalian dengan pendidikan, mulai dari pra sekolah sampai dengan pendidikan tinggi (Pidarta, 2009:45).

Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Maunah, 2009:14)
Pada pasal 1 ayat 2 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Undang-undang ini mengharuskan pendidikan berakar pada kebudayaan nasional dan nilai-nilai agama yang berdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya, landasan kebijakan pendidikan ditinjau dari UU RI Nomor 20 Tahun 2003 khususnya mengenai tenaga pendidik dicantumkan dalam pasal 1 ayat 5 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang berbunyi tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengapdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan. Menurut ayat ini yang menjadi tenaga kependidikan adalah setiap anggota masyarakat yang mengapdikan dirinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan tenaga kependidikan tertera dalam pasal 39 ayat 1 yang mencakup tenaga administrasi, pengelola/kepala lembaga pendidikan, penilik/pengawas, peneliti, dan pengembang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar.

Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 membedakan pendidikan antara jalur pendidikan non formal dan informal yang tertera pada pasal 13. Dikatakan bahwa jalur pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah secara berjenjang dan bersinambungan, sedangkan jalur pendidikan non formal dan informal merupakan pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.

Pengklasifikasian jalur pendidikan juga diatur dalam undang-undang pendidikan pasal 15 yang menyatakan pada jalur pendidikan formal terdiri dari pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan khusu, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Pendidikan Umum terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan kejuruan, sedangkan pendidikan khusus adalah pendidikan untuk anak-anak luar biasa dan pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang banyak diisi oleh prinsip dan nilai-nilai keagamaan. Sementara itu pendidikan akademik dan profesioal diselenggarakan di perguruan tinggi (Pidarta, 2009:51).
Landasan Kebijakan Pendidikan Menurut Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Tujuan pendidikan akan dapat dicapai tidak terlepas dari keberadaan tenaga pendidik yang termasuk didalamnya adalah guru dan dosen. Pada Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 pasal 8 berbunyi guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani, dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi guru mencakup pedagogik, kepribagian, sosial, dan profesional.

Menurut Jauhar (2012) Kompetensi pedagogik berkaitan kompetensi kependidikan, kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi itu sendiri yang memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari, kompetensi sosial adalah kemampuan seorang guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masysrakat sekitar sedangkan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara laus dan mendalam.


ZAMAN PERKEMBANG ORDE BARU


Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.

Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori (Dalam Pidarta 2008: 139-140) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu

(1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja),
(2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari),
(3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan
(4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).



PENDIDIKAN MASA DEPAN


Dalam kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang bersangkutan. Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi positif terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar bangsa di dunia. Bagaimana keadaan suatu Negara di masa depan tidak luput dipengaruhi oleh pelaksanaan pendidikan yang dilakukan. Antara sistem pendidikan di Indonesia dan pendidikan di negara-negara maju tidak bisa disamakan akan tetapi negara maju dijadikan sebagai penyemangat karena masing-masing negara mempunyai kultur yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar.

Seiring dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21, pendidikan semakin urgen dalam rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh persaingan di semua aspek bidang kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah bagi bangsa yang kualitas sumber saya manusianya rendah untuk dapat maju dan berkembang. Sebaliknya justru bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan tenggelam dari peta percaturan dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan luas yang dimilikinya.
Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Menghadapi kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon terhadap lamban dan kurang dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan agenda utama disamping perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.

UNESCO sebagai lembaga yang mengurusi masalah pendidikan di bawah naungan PBB telah merumuskan empat pilar pendidikan dalam rangka pelaksanaan pendidikan untuk masa sekarang dan masa depan, pilar tersebut adalah pilar (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melaku kan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). (5) learn how to learn (belajar men ggunakan metode yang tepat) dan yang terakhir learning trou gho ut life (belajar sepanjang hayat).


Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme

Pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga umat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan.

Dengan konsep pembelajaran yang ber-nilai, kompetensi yang berbasis kecakapan hidup (life skill) menjadi tujuan pembelajaran yang terpenting. Siswa diharapkan tidak hanya mampu mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sebatas teori, tetapi betul-betul menjadi keterampilan hidup yang dapat dijadikan bekal untuk hidup secara bermakna bagi semua peserta didik. Jadi paradigma pendidikan masa depan harus diubah dari sekolah untuk mendapatkan ijazah atau keterangan lulus, menjadi sekolah untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal hidup. Dengan demikian, di masa-masa mendatang tidak akan terdengar lagi lulusan sekolah yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan, sebab mereka akan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan untuk orang lain. Sekolah di masa depan ibaratnya seperti orang “magang”. Jadi ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di sekolah langsung bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
supaya pendidikan menjadi ber-nilai, maka guru yang bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya pendidikan haruslah guru yang betul-betul profesional dan memiliki nilai plus. Profesional ditandai dengan keahlian, tanggung jawab dan rasa kesejawatan yang tinggi serta didukung oleh etika profesi yang kuat. Sedangkan nilai plus ditandai dengan wawasan pengetahuan dan atau pengalaman yang luas dalam bidang bisnis, perdagangan dan menyiasati hidup. Tanpa guru yang profesional dan memiliki nilai plus, proses pembelajaran di sekolah tidak akan berjalan optimal dan hanya akan berhenti sebatas teori. Akibatnya tujuan pendidikan agar ber-nilai bagi peserta didik tidak akan pernah tercapai.

Kurikulum, juga merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai pendidikan yang ber-nilai. Kurikulum yang mendukung pendidikan yang ber-nilai adalah kurikulum yang memberikan akses seluas-luasnya pada peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup sesuai potensinya. Untuk itu setiap poin kegiatan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum secara jelas dan tegas hendaknya mencantumkan kemampuan riil yang dimiliki peserta didik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Sementara sarana prasarana pendidikan merupakan komponen penunjang yang tidak dapat diabaikan dalam pencapaian pendidikan yang ber-nilai. Kuantitas dan kualitas sarana prasarana pendidikan, akan sangat menentukan keberhasilan program pembelajaran di sekolah. Hal ini bisa dipahami karena sarana prasarana pendidikan merupakan pendukung langsung terselenggaranya kegiatan pembelajaran.


Termasuk dalam sarana prasarana pendidikan ini adalah alat pembelajaran (buku dan alat tulis), alat peraga, media pendidikan, gedung, meubeler (meja, kursi, dll), jalan menuju sekolah, asrama, dan sebagainya.

Pernahkah anda membayangkan bahwa sekitar 10 tahun atau 15 tahun kedepan, pendidikan tidak lagi membutuhkan diktat tebal yang mesti dijinjing setiap harinya melainkan digantikan dengan e-modul atau e-book serta konsep ujian yang serba online. Kira-kira seperti itulah bayangan sekolah masa depan yang akan kita hadapi di waktu yang tak terlalu lama lagi.

Maraknya perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam dunia pendidikan mulai dari perangkat hingga software edukasi memang menopang harapan yang besar dari semua orang agar mampu mewujudkan potret sekolah masa depan yang jauh lebih baik dari kondisi yang ada sekarang.

teknologi digunakan sebagai alat untuk mendukung siswa dalam melaksanakan tugas-tugas otentik, para siswa berada dalam posisi menentukan tujuan mereka, membuat keputusan desain, dan mengevaluasi kemajuan mereka.

Peran guru pun turut berubah. Guru tidak lagi menjadi pusat perhatian sebagai dispenser informasi, melainkan memainkan peran sebagai fasilitator, menetapkan tujuan proyek dan memberikan pedoman dan sumber daya, bergerak dari siswa untuk siswa atau kelompok ke kelompok, memberikan saran dan dukungan untuk kegiatan siswa.

Kemampuan untuk mendapatkan fasilitas online dengan bantuan guru untuk penelitian proyek adalah keuntungan besar bagi para siswa dan bahkan suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa mereka akan perlu melakukannya ketika mereka telah lulus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dengan memanfaatkan teknologi dalam kelas, siswa bisa mendapatkan ilmu baru dan keterampilan yang dapat berguna pada tingkat berikutnya di mana kelak dapat diterapkan pada pekerjaan di masa depan dan kehidupannya


Diambil dari berbagai sumber blog dan lain lainnya , 3 Januari 2015

Posting Komentar

0 Komentar