Tetap Kompak Tanpa Emosi


 

Menjadi  ibu dengan tiga orang anak sekaligus dalam  jangka empat  tahun berdekatann, bukan hal yang mudah. Apalagi mencari asisten rumah tangga yang siap bekerja sama dengan segala kerumitannya. Ditambah lagi  kalau tidak  mungkin mengharap  kerjasama dengan partner hidup dengan kesibukannya. Pilihannya, terus mencari asisten rumah tangga atau menyiasati agar tetap berjalan? Menghadapi sendiri dengan penuh emosi, atau tetap kompak tanpa emosi?

Dan akhirnya saya memilih yang kedua. Karena bunda yang hebat itu adalah, yang mampu mengatasi permasalahan rumah tangga dengan mencari solusi,  tanpa mengeluh. Pilihan kompak dan  bekerja sama dengan  ketiga buah hati, menjadi solusi atas permasalahan saya. Karena kalau saya tidak kompak dengan mereka, terbayang kan bunda? Kondisi ketiganya adalah laki-laki, dan indikasinya adalah hyperaktif semua, karakter pun berbeda-beda. Kalau  kami tidak bekerjasama tentu yang terjadi sudah terbayangkan. Ini mungkin hikmahnya mengapa saya tidak berangkat mengambil CPNS saya di SMPN 5 Kapahiang Bengkulu. Allah ternyata punya rencana lain untuk saya.

Ya, saya lulusan pendidikan guru, yang ditempatkan di daerah. Namun keluarga tidak mengijinkan saya berangkat karena satu dan lain hal. Apalagi saya yang sudah menikah 5 tahun belum dikaruniai anak. Begitu dikasih, langsung tiga  anak  laki-laki dalam  empat tahun. Padahal saya belajarnya baru untuk punya satu anak di sebuah majalah parenting, hihihi Alhamdulillah Allah berikan lebih untuk saya. Berarti saya harus belajar lagi nih, bagaimana mengatasi kerempongan dengan tiga buah hati yang yang harus dibesarkan dalam waktu bersamaan. Dengan segala kasih sayang dan perhatian yang sama, walau mereka berbeda karakter.

Banyak try dan eror (coba-coba) yang saya lakukan untuk menghadapi ketiganya. Ingat orangtua dulu punya anak banyak saja, bisa loh. Masa saya yang  dikasih tiga mengeluh sih, itu pikiran saya. Dimulai dari dari sulung yang harus saya hentikan asinya, begitu ada janin dalam rahim saya saat sulung menginjak delapan bulan. Saya mulai melatihnya untuk belajar bekerja sama. Mulai dari minum dan belajar makan sendiri. Melibatkan sulung dengan banyak hal, yang berhubungan dengan adik bayinya. 

Bukannya tanpa rewel, sulung menghadapi rasa cemburu terhadap adik yang belum  saya lahirkan. Naluri pendidik saya segera mengatakan, saya harus melibatkan sulung dan merasa memiliki juga adik didalam perut ibunya. Terkadang saya harus sedikit berakting, saat mules menghampiri saya. Saya seperti kesakitan yang amat sangat, lalu saya katakan, “abang di sayang adeknya biar ga rewel di dalam perut ibu nak”. Yes, cara tersebut ternyata mujarab, sulung yang memang sudah jalan dan bicara sejak umur 10 bulan , di usianya yang sudah setahun jadi ikut cerewet. “Adek, jangan rewel ya, kasihan ibu” subhanallah bunda, bahagia sekali saya saat itu. 

Begitu juga saat anak ke dua lahir, saya sangat kompak dengan sulung. Seolah hanya ada kami bertiga, selain karena kepala keluarga pulangnya sudah larut malam setiap harinya. Terkadang saat saya harus mandi, atau memasak, saya minta tolong sulung untuk membantu. Bahasa tolong, terimakasih atau  pujian atas bantuannya, sangat sering terucap dari bibir saya bunda. Alhamdulillah. Aktifitas saya sebagai ibu di dalam keluarga, sungguh terbantu dengan kekompakan kami ini. 

Nah mulai hamil yang ke-tiga. Saya mulai merasakan sedikit berat. Kondisi kepala keluarga yang mengalami kesulitan keuangan, menggoda saya untuk mudah marah dan emosi. Tapi saya tahu, itu tidak sehat untuk kandungan saya dan kedua anak saya. Saya putar otak, bagaimana mencari jalan keluar mengatasi kehamilan ke-tiga ini, tetap kompak tanpa emosi. Kerjasama pasangan itu sangat diharapkan bunda. Bukan untuk bermanja, tetapi agar kekompakan yang sudah saya jalin bisa singkron satu sama lain. Sebulan lagi yang nomer 2 berumur dua tahun, bungsu kami lahir. Lucu juga kalau lihat abang adik itu berebut untuk menolong saya. 

Ucapan dan perlakuan saya pun tetap sama, kata maaf-terimakasih dan pujian terus hadir dalam kerjasama kami agar kompak. Tidak jarang sulung ngomong ke adiknya, “Abang mpi, beresin dulu mainannya kalau mau tidur, kasihan ibu nanti sakit kalau capek”. Mashaallah, rasanya jadi obat melihat kekompakan mereka berdua menemani hari hari saya memiliki si bungsu. 

Ada sesekali benturan dan  lika liku mengajak anak belajar kompak, terkadang ego sulung yang selalu ingin didengar dan anak ke-2 yang selalu ingin menggoda. Maing-masing punya keunikan tersendiri. Belum lagi kalau fisik saya sedang ngedrop. Rupanya, saat bunda sakit justru jadi moment paling pas untuk meningkatkan  kekompakan mereka. Karena mereka bertiga dan laki-laki semua, jadi bisa jadi teman satu sama lain. 

Terkadang perbedaan dengan pasangan juga jadi pemicu sikap bunda ke anak. Itu saya rasakan, namun saya menyiasatinya dengan kata-kata positif. Ganteng, anak sholeh, walau bibir harus menahan emosi dan gigi yang gemetar menahan emosi jiwa. Saya tidak ingin tersulut dan terpancing, untuk mengucapkan sumpah serapah mengatasi emosi saya. Karena saya yakin, ucapan seorang ibu adalah doa. Alhamdulillah, sampai mereka besar, kata-kata mereka tetap santun terjaga. Paling tinggi mereka bicara dengan bahasa loe gue antar mereka. Lebihnya, Alhamdulillah tidak ada. Jadi emosi saya tidak harus memakan korban, yaitu perkembangan mental anak-anak. Ketidak mampuan bunda menghadapi kesulitan hidup atau permasalahan sangat mudah menyulut emosi.

Terakhir yang saya lakukan adalah,, terbiasa mengajak berdiskusi ketiganya, sejak mereka bayi. Mengajak mereka bicara seolah-olah mereka sudah dewasa dan bisa mengerti apa yang bunda rasakan. Subhanallah bunda, ternyata positif thingking saya terbukti. Mereka justru mampu memberikan masukan-masukan yang hebat yang kadang tidak pernah terfikirkan oleh saya sebagai ibunya. Daya empati dan kepekaan situasi juga cepat dimiliki. Saling mengingatkan itu sudah biasa di keluarga kami. Tidak heran dengan atau tanpa kepala keluarga, kami tetap kompak tanpa emosi. Saling menyampaikan kangen itu juga hal yang biasa untuk kami. 

Nah bunda, itu pengalaman saya memiliki ketiga jagoan yang lahir dalam kurun waktu berdekatan. Seperti kata rosulullah katakana, setiap anak terlahir putih suci, tergantung bagaimana coretan ayah bundanya. Dan saya yakin torehan yang baik akan mendapatkan hasil lukisan yang baik. Yaitu anak-anak kita yang sholeh, kebanggaan orangtua dunia akhirat. Aamiin yra.

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Hidup memang pilihan Mba Julie, tapi percayalah apapun pilihan yg diambil tentu Allah akan selalu membantu kita.

    BalasHapus
  2. Berbicara layaknya mereka sudah dewasa, sepakat banget deh mbak. Makasih atas sharingnya ya mbak :)

    BalasHapus
  3. Salut Mbak..empat tahun 3 putra, wah rempong pastinya ya
    Saya setuju sekali, kadang memang ada rencana Allah yang tak kita duga tapi itu yang terbaik ternyata bagi kita. Semoga kita dimudahkan dalam mengasuh anak-anak sehingga bisa jadi anak saleh/salehah kebanggaan dunia akhirat. Aamiin:)

    BalasHapus
  4. Sangat penting mengajak diskusi anak-anak kita, dan orangtua harus rela menurunkan egonya. Terus belajar karena rumah tangga adalah sekolah sesungguhnya.

    BalasHapus
  5. Wah harus banyak belajar dari Mbak Juli. Kalau umurnya berdekatan, enak sekali saat sudah besar-besar yaa Mbak hihii, kawannya pasti banyak dan ramai.

    BalasHapus
  6. Anak-anak ternyata bisa diajak diskusi. Apalagi kalau jaraknya dekat ya, Mbak. Rame pastinya

    BalasHapus
  7. Mbaaak, dirimu luarbiasah. Aku cm anak satu aja udah merasa emak terempong di dunia. Sekalinya lihat dirimu, ya Allah mba, aku malu. Tfs mba. Menginspirasi banget nih.

    BalasHapus
  8. Waah..kebayang hebohnya ngurus 3 anak lelaki, ya Mbak... Jadi inget mertua saya,punya anak 3, laki-laki semua. Aktif semuanya...hihihi

    BalasHapus