Sekali Lagi aku Harus Belajar Menjadi Orang Tua yang Bijak


Beberapa bulan ini aku memang sedang melewati masa masa kritis anakku sulung dalam melewati masa pencarian jati dirinya. Wah betul  dech menguras segala emosi, fikiran dan air mataku sebagai perempuan ! Tetap saja aku seorang ibu yang punya hati terdalam merasakan kesedihan karena dia yang kulahirkan dan kubesarkan dengan agama dan kasih sayang serta harapan menjadi contoh dan pembuka jalan yang baik untuk adik adiknya. 

Padanyalah kuletakkan dan kusandarkan segala harapan dunia akhirat. Aku ingat sekali berkali kali kukatakan padanya " abang, adik itu gimana abangnya. Abangnya baik, adik juga baik. Abangnya jelek adik juga mencontoh jelek kataku yang selalu tak pernah bosan kuulang ulang dari tahun ketahun seperti simfoni merdu yang asyik dan wajib kunyanyikan . Terkadang aku sering ingin mengulang  masa masa manis bersamanya saat dia masih menjadi anak manis, santun, dan selalu menjadi yang terbaik untuk kami keluarganya. Kami selalu bangga akan dia, begitu juga tante dan om-omnya, sepupunya,
 Sejak kecil kami sudah membiasakannya untuk berdiskusi apapun permasalahannya. Tapi sejak diakhir kelas 2 SMA mulai banyak perubahan padanya. Masuk kelas 3 lebih lagi, awalnya lumayan kami masih sering sholat berjamaah dan bila maghrib membaca alquran. Namun menjelang semester 2 kelas 3 SMA seakan akan ia ingin menunjukkan bahwa aku sudah gede loh, aku sudah baligh loh! Segala sikap nya mulai membuat keluarga kesal terutama kesukaannya akan nge-band. Dan itu membuatnya kerap pulang malam. Baginya musik adalah segala-galanya

Aku hampir menangis saat menjelang UN memintanya untuk lebih konsen trasi dan mengurangi keluar malamnya dan itu dituruti olehnya dengan segala syarat . Ayahnya yang  sakit sejak 6 bulan lalu dan tak bisa lagi memimpin sholat berjamaah lagi hanya bisa geleng geleng kepala tak mampu berkata apa apa dan sulung pun untuk memimpin tak mau dengan seribu alasan. Sehingga tak ada lagi arena kami berdiskusi atau membahas masalah. Dan dia juga cenderung segera pergi setelah sholat bila adiknya yang menjadi imam . 

Rasanya duniaku runtuh, ada sesuatu yang hilang dihatiku melihat ia melewati masa masa seperti itu. Sudah aku harus menghadapi keadaan ayahnya yg sakit  , dan itu butuh ekstra keras agar rumah ini terus berjalan.Belum Menghadapi pekerjaanku disekolah sebagai guru matematika  dan melewati masa tumbuh kembangnya ke tiga anak anakku yang beranjak dewasa termasuk si sulung. Aku harus berlari agar tugas tugas berat serta ujian ini terlewati.  Walau terkadang ego wanita ku ingin berteriak dan berlari meninggalkan mereka,  namun lovely mother yang alamiah tumbuh subur dihatiku bisa mengalahkan segala ego dan nafsu sesaatku. Aku tetap tak lelah menasehati, mengingatkannya, bahkan terus membimbingnya.
Entah berapa banyak bentakan, kata kata yg menyakitkan atas imbal balik usaha yang kulakukan untuknya dan keluarga ini.  Alhamdulillah dengan segala perjuangan , ia bisa melewati UN dengan nilai yang maksimal. Kemudian segala informasi kuberikan padanya untuk tak lelah mengikuti ujian-ujian yang menjanjikan beasiswa, karena kutau kami tak mampu menguliahkannya dengan keadaan keluarga seperti ini. 

Sebelum ujian SMPTN dia telah mengikuti tes Telkom, Stekpi dari yayasan supersemar dan verifikasi data jalur undangan D3 IPB . Alhamdulillah dengan bimbingan dan doa kami ayah ibunya ,ketiga-tiganya lolos namun hanya karena Telkom yang memberi beasiswa murni, kudorong ia untuk mengambilnya. Sempat ia berontak karena tak mau ke Bandung dan meninggalkan hobby bermusiknya. Namun begitu pengumuman SMPTN dan ternyata banyak temannya yang tidak lulus termasuk beberapa teman bandnya. Barulah  ia tersadar. Walau, egonya masih belum mengakui dan membuatnya berubah tapi akhirnya ia mau berangkat juga ke Bandung.

Tapi aku selalu berusaha untuk terus bersabar menghadapinya, dan tak lupa disetiap Tahajudku aku meminta padanya agar menjadikannya menjadi anak sholeh Qurrota A'yyun begitu juga ayahnya dalam keadaan sakit hanya bisa menunduk sedih. Aku yakin, dia yang kubesarkan dengan agama pasti kelak akan kembali menjadi anak sholehku, anak manisku, anak kebanggaanku dan kelg. Aku yakin itu, walau untuk itu aku harus terus menahan hati dan sabarku.

Seperti  dimalam ramadhan ke 19 ini , aku yang baru selesai mengajar anak- anak les dirumah jam 8 malam karena ya aku harus kejar setoran ( maksud ku )mengumpulkan rizki yang banyak di ramadhan ini untuk lebaran dan persiapannya berangkat ke Bandung untuk kost dan segala keperluannya nanti di Bandung aku merebahkan sejenak badanku karena lelah.

Tiba tiba ia seperti mengambil kunci dan pergi tiba tiba. Pada adiknya pun tak pamit, begitu juga aku yang berada dikamar . Saat itu ayahnya dan adik nya yang no 2 pergi membeli kebutuhannya nanti seperti celana panjang atau baju, ia memang cuek sekali akan pakaian yang digunakan, padahal sebentar lagi mahasiswa. Huft, hingga 2 jam tak ada kabar berita kemana dan pulang jam berapa ? Adiknya yang biasa bakda teraweh jam 9 an pergi ke masjid untuk tadarusan tidak tega meninggalkanku sendiri. Padahal mata ini dah penat rasanya karena besok harus bangun pagi pagi untuk sahur, dan sulung bakda subuh akan ke Bandung mencari tempat kost kost an dengan temannya. Kupejamkan mata ini rasanya tak kuat tapi hatiku mengganjal !


Tepat jam 22.45 suamiku pulang tapi mataku sudah lengket.  
Aku terbangun dan segera bersiap siap untuk sahur, aku diam saja karena perasaan semalam masih terasa aku memang tidak pernah bisa menutupi perasaanku , ayahnya bertanya kenapa, lama aku terdiam, " bu anakmu mau berangkat ayolah, jangan ada ganjalan katanya, aku menceritakan kejadian semalam dengan agak sedikit kesal.


 " Abang, kamu gimana nich.. Komunikasi buntu terus ma ibu katanya menahan amarah, yang tadinya mau makan, nafsu makannya jadi tertahan. Kenapa sih ayah, apa susahnya dia pamit, ibu kasian aja sama adek bungsu yang mau ke masjid jadi ga berani ninggalin ibu" kataku setengah menangis. Suamiku tercenung bingung antara aku dan sulung, lalu gimana ? Nanti kalau kenapa napa dengan anakmu gimana dijalan karena ada ganjelan ? Katanya lagi. Aku diam, ada merasa ga enak dibalik suara suamiku yang amat bergetar ". Lalu ibu harus apa yah ? Kenapa dia ga pamit ? Memang rumah ini ga ada penghuninya ? Hotel ?  Di sms juga ga jawab kataku " berusaha tak emosi , sulung membela diri " orang abang pikir ibu tidur kok ayah , lalu adikmu ? Udah aku sudah bilang ma adek katanya. “ Kapan bang, adek ga denger “ kata bungsuku spontan. Darahku rasanya naik ke ubun ubunku, menahan geletar amarah ingin segera menyudutkannya. Ternyata ia langsung memberi senjata pamungkasnya, " maaf bu.." Dan tenggorokanku seperti biasa langsung tercekat tak mampu berkata lagi, ya ia tau kelemahanku, dan rupanya ia sudah siap-siap berangkat dan mengambil wudlu. Aku hanya mampu mengikuti semua gerakannya dengan pandangan kosong.
Nyatanya aku harus terus belajar lagi memahaminya anakku yang sedang bingung melewati masa remajanya. Semarah apapun aku dia tetaplah anakku. 

Usai sholat dia menghampiriku, " Bu, abang berangkat ... " Sambil mencium keningku berkali kali, tak kuasa menahan air mata ini " Ya allah bismillahi tawaqaltu allahi.. Kutitipkan segala penjagaan dan keselamatan anakku hingga kembali kerumah ini " doaku dalam hati. Sambil kuambil uang bekal dan DP untuk pembayaran kostnya. Ya aku dan ayahnya sepakat, apapun ketika kami keluar dari rumah ini siapapun, semua harus memplongkan hati agar tidak ada ganjalan baik yang akan berangkat atau siapapun yang akan berangkat. 


Ya allah sekali lagi aku harus belajar menjadi orang tua yang bijak dan jernih hati menyikapi segala gejolak yang ada pada jagoan - jagoan kami dalam melewati masa masa kritis kedewasaannya. 

Tambun  City , 8 Agustus 2012

Posting Komentar

0 Komentar