Siapa bilang satu sekolah dengan anak kandung itu menyenangkan?, Rasanya bertahun tahun hal ini selalu aku hindari. Entahlah aku merasa bila satu sekolah dengan anak-anakku, itu akan melunturkan keprofesionalanku bekerja. Mungkin terlalu lebai pemikiran ini, tapi kenyataannya hal itu yang selalu aku takutkan sejak anak-anak kecil.
Aku lebih suka menyekolahkan
anak-anak kandungku di sekolah negri dan cenderung dekat dengan rumah. Artinya,
aku juga bisa memangkas biaya biaya yang tidak perlu. Mengapa hal itu terjadi?
Karena 3 anak laki lakiku sekolah SD di usia yang amat sangat muda yaitu 5
tahun. Aku pikir sekolah hanyalah tempat
formalitas pertama anak anakku mengenal hubungan sosial yang resmi setelah
lingkungan di sekitar rumahnya. Dimana mereka akan belajar mengenal miniatur
masyarakat kecil sambil bermain dan belajar seiring dengan perkembangan usia
mereka.
Sebagai ibu dan sekaligus
memiliki profesi guru adalah keuntungan tersendiri buatku. Dimana sebagai
sekolah pertama anak, aku mengajarkan sendiri mereka baca tulis dan berhitung
serta mengaji hingga al quran. Walau terkadang lumayan repot karena kelahiran mereka
yang jaraknya berdekatan. Ya dalam 4 tahun aku melahirkan sebanyak 3 kali dan
semua nya laki-laki, lumayan dekat jaraknya. Keuntungannya, mereka bisa menjadi
murid-murid ku dirumah. Sehingga waktunya bermain kadang kubuat sambil belajar,
lucu rasanya bila kuingat masa kecil mereka bertiga.
Aku tidak pernah menuntut banyak
kecerdasan mereka, pertama usia mereka yang terbilang muda, kedua aku yakin anak-anakku
cerdas cerdas. Tinggal bagaimana aku mengarahkan dan menyalurkan energi mereka
yang memang luar biasa aktif sekali, masalah prestasi buatku nomer sekian. Yang
utama adalah akhlak dan bagaimana mereka berproses meraih ilmu pengetahuan yang
kelak mereka pertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Kembali ke mengapa aku tidak
pernah ingin satu sekolah dengan anak anakku, tetapi untuk kali ini aku harus
melanggar aturan itu sendiri. Setelah mengurus almarhum suami setelah sakit
sekian tahun dan terparah menjelang wafatnya, aku kehabisan biaya. Bungsu akan lulus SMP dan memasuki jenjang SMA.
Aku memilih memasukkan nya ke swasta
seperti abangnya nomer 2 yang sekolah di SMK
Swasta dan bagus menurutku. Namun ketika
bungsu ingin masuk kesana, biayanya ternyata untuk gelombang 1 saja sudah besar
namun aku tidak ingin mematahkan
semangat anakku untuk sekolah, akhirnya kami berdiskusi berempat, aku dan 3
anakku. Abang-abangnya memberi saran untuk bersekolah ditempatku bertugas
sekarang, agar biaya ringan dan bisa berangkat bareng meringankan biaya
transportnya.
Akhirnya kuberanikan mengajukan
kepada Kepala Sekolahku waktu itu, Pak Yosep Tri Gutanto. Kusampaikan terus
terang apa yang menjadi kesulitanku . Alhamdulillah beliau sangat mengerti dan
memberi solusi untuk meringankan biaya bungsu sekolah. Setelah itu aku bicara
panjang lebar dari hati ke hati sambil berdiskusi langkah langkah apa yang
bungsu dan aku harus ambil bila kami harus satu sekolah. Subhanallah, bungsu
saat itu sangat luar biasa kerja samanya. Dia memahami positif dan negatifnya
bila kami bersama dalam satu sekolah.
Cukup lama sekali hampir 3 hari berturut turut kami diskusi, aku tidak mau
bungsu merasa tertekan bila nanti bersamaku. Terlebih dia tahu ibunya sangat
disiplin sekali .
Alhamdulillah kami bisa melewati
ini semua sampai dia lulus, ada sekali dua kali benturan, ternyata bungsuku
dewasa sekali. Dia memilih diam tidak memihak manapun, dan berusaha bertanggung
jawab terhadap apa yang dikerjakannya. Kalaupun prestasinya terus menanjak dan
bagus itu bukan karena aku, tetapi karena dia sendiri, aku hanya membantu bila
dia kesulitan dan tak mampu menjawab atau mengerjakan soal matematika sendiri.
Artinya aku benar benar berusaha professional mendidik dia sebagai anak laki
lakiku juga.
Banyak anggapan kalau anak guru
itu enak, siapa bilang? aku yakin anak anakku kalau boleh memilih pasti tidak
ingin ibunya menjadi guru. Mengapa? kata mereka “Beban Bu. Kalau nilai jelek,
kelakuan jelek, pasti ada sindiran masa anak guru begitu?” . Kalau bagus ,
dengan enak mereka berkata “Ya iya lah orang tuanya guru, wajarlah kalau
bagus.”
Aku bukan type orang tua yang banyak menuntut, buatku mereka harus
enjoy dan nyaman. Aku tidak ingin memasung atau menyandera tingkah laku anak
anakku dengan profesi sebagai guru. Hal yang utama adalah KESADARAN arti
berbuat dan bertanggung jawab. Terlebih mereka semua laki- laki, aku selalu
mengajarkan berani berbuat berani bertanggung jawab. “Laki-laki itu Nak yang
dipegang adalah omongannya,” he he biar mereka semangat dan bertanggung jawab
menjadi laki- laki dewasa kelak .
Jadi yang kutekankan sejak mereka
kecil hingga dewasa kini adalah diskusi dan bicara dari hati ke hati mencari
solusi dari segala permasalahan yang timbul . Begitu juga dengan aku dan si
bungsu saat harus satu sekolah. Tidak jarang perjalanan pulang kami , menjadi
arena baik aku atau bungsu untuk curhat sambil mencari jalan keluar. Bahkan
pernah loh si bungsu menjelang ujian SMK mulai berani mengatakan suka pada
seorang gadis untuk semangat.
Aku tahu tidak boleh mematahkan
semangatnya, namun juga kusampaikan untuk fokus belajar dan meraih sukses
sebagai bekal memiliki istri. Terutama menjadi imam yang baik untuk anak
anaknya kelak. Pilihan ada di tangaan mereka. “Mau langsung nikah silahkan yang
penting bertanggung jawab, bukan untuk main main.” Aku melanjutkan “Senang
boleh, tapi untuk lebih jangan lah dek, anak orang nanti mau dikasih makan apa?
Cinta?.”
Aku sampaikan “Apalagi adek masih
sekolah ikut ibu, masa Ibu harus membiayai kalian sekolah dan nikah?” Kuberi pemahaman, akhirnya anakku mengatakan
ingin sekolah dan bekerja yang benar
dulu . Alhamdulillah
Adalah sesuatu yang membahagiakan
ketika aku diinbox oleh wali kelasnya, bahwa anakku mendapat NEM tertinggi
disekolah, subhanallah. Sujud syukurku tak terkira, apa yang ku tanamkan pada
ke 3 anak laki lakiku paling tidak didengar. Aku bersyukur Allah berikan mereka,
terutama bungsuku anak yang sholeh dan berbakti pada orang tua. Aku juga sangat
bersyukur, saat harus satu sekolah dengannya, bungsu tidak mengecewakan dan
merusak profesionalitasku sebagai guru subhanallah. Semoga ini bisa berbagi
untuk teman teman guru yang harus satu sekolah dengan anak anak kandungnya dan
tetap bisa professional.
Griya Tambun , 2 Agustus 2016 .
Tugas Artikel diujung waktu
5 Komentar
ferry ibrahim chandra
BalasHapusxi tkj 2
ok
Hapusyohanes A. Geor XII TKJ 3
BalasHapusRizky fahla p XII tkj 3
BalasHapusnovia erviana XII tkj 3
BalasHapus