5 Tahun Penuh Penantian (Selesai)

Elmina Indonesia

Alhamdulillah, akhirnya restu itu datang juga. Saat mama pulang dari rumah sakit, memeluk saya dengan rasa sayang yang amat luar biasa saat  itu. Seperti tidak pernah berjumpa sekian lama. “ Mbak, kapan kamu akan menikah? Tapi papa bilang kamu harus mastiin mbakmu sudah tunangan yaa. Papa nggak kasih, kalau mereka belum ada kepastian.”  Saya berucap Alhamdulillah atas ucapan mama barusan. Kita memang mengetahui bersama, kalau  kakak pertama itu kakunya minta ampun. Beliau katanya sudah punya pacar anaknya dekan tempat dia kuliah di  Jawa Tengah sana.

Mama-papa merasa bersalah karena telah menjaga mbak dengan sedemikian ketat. Maklum anak pertama jadilah  ini nggak boleh itu nggak boleh, Ini takut, itu takut, waaah seperti keramik porselen lah menjaganya jangan sampai pecah. Berbeda dengan saya, walau saya ditakdirkan sakit bronchitis sejak kecil dan langganan rumah sakit, kata mama-papa saya bakat tomboy abiis he he, malah di ler loh dibiarin maksudnya.

Jadilah saya berfikir bagaimana saya harus berkomunikasi dengan mbak. Bukan baper, saya anak ke-dua tapi sejak kecil mama-papa selalu mengandalkan saya, jadi mbak sepertinya jeleous gimanaa gitu. Namanya perempuan semua anak pertama sampe ke tiga jadi tingkat bapernya hampir tingkat dewa.  Keputusannya, saya akan ke tempat kuliah mbak eh salah maksudnya ke tempat kost mbak, untuk bicara dari hati ke hati.

Dan, sudah bisa saya tebak. Mbak pasti kaku, alot dan  teriak-teriak kalau bicara. Merasa benar, merasa paling tua, nggak mau didikte, ga mau dilangkahi dan sebagainya. Saya Cuma terdiam, menahan  sedih atas banyak tuduhan yang kemudian dilontarkan untuk saya. Yang katanya saya cewek gatel lah, sudah macem-macemlah, nyusahin orangtua lah. Hhhh, bagaimana saya bisa menahlukkan  mbak yang satu ini. Pikiran saya terus berfikir keras, sambil menyerap semua kata-katanya. Lirak-lirik kanan kiri takut teman-teman kostnya mengira kami sedang apa.

“Mbak, kalau mbak berfikir seperti ini, agama tidak pernah mengajarkan kita seperti itu. Saya justru menikah karena saya tidak ingin maksiat. Mbak mau adik-adik mbak hamil dulu sebelum menikah gitu? Mbak nggak malu? Mama-papa gimana? Mana yang mbak pilih, berbesar hati kami menikah baik-baik atau karena married by accident mbak? Bukannya sudah kegatelan, saya juga kan mau penempatan  kerja ke daerah. Saya inginnya jangan sampai dilempar jauh juga, syaratnya ya nikah  juga mbak. Dosen saya sudah menyampaikan itu. Tapi, utamanya ya karena ingin menghindari maksiat, kita sudah dewasa mbak. Laki-laki dan perempuan jalan berdua bukan muhrim apa jadinya? Saya kan calon guru mbak.” Berondong saya setelah mbak terdiam. Cukup itu saja, tapi cukup ampuh bikin mbak tambah diam. Lalu, saat saya bilang, ya sudah kalau mbak maunya itu. Tangan saya ditarik “ Eh nggak begitu, gue belum siap nikah. Tapi kalau kamu mau nikah ya nikah saja, akhirnya keluarlah kata-kata itu.

Walau berat dan berliku setelah hampir 2 tahun pernikahan rahasia saya dengan orangtua , akhirnya kini bisa lebih tenang. September akan wisuda, Februari 1993 saya menikah . Setelah mbak bertunangan. Sehingga kehidupan saya kemudian lebih tenang. Saat harus menyelesaikan kuliah. Karena tinggal jauh dari orangtua ke dua belah pihak, dengan alasan harus  menyelesaikan kuliah. Saat itu belum terasa konflik demi konflik. Saya  benar-benar fokus menyelesaikan kuliah, sambil berjuang mengajukan ke dekan agar nanti saat penempatan  tugas tidak jauh dari tempat tugas suami.

Konflik baru terasa, saat pengumuman tempat tugas keluar. Saya sangat kaget sekali, karena ternyata saya ditempatkan jauh sekali. Yaitu di SMPN-5 Kapahiang Bengkulu. Disitulah mulai terasa konfliknya. Suami sangat keberatan, mama-papa saya sangat ingin saya berangkat. Terutama  papa, terus terang di awal saya masuk kuliah agak ragu. Karena walau nilai matematika saya 9, sesungguhnya saya takut, saat di terima di fakultas MIPA jurusan pendidikan  matematika. Begitu kuliah saya selesai dan diangkat CPNS di Bengkulu, ternyata tidak diijinkan berangkat. Dilema antara suami dan orangtua. Ego saya mengatakan bahwa saya ingin membahagiakan orangtua, tapi agama mengajarkan saat perempuan sudah bersuami, suami adalah orangtua. Bakti kita kepada suami di ajarkan oleh agama.

Butuh waktu untuk memahamkan kepada orangtua saya bahwa, saya harus mematuhi suami saya. Karena kedua orangtua saya agama aliran kejawen, jadi belum memahami. Hubungan mulai memanas sejak itu, seolah papa tidak rela, setelah kuliah ternyata saya  tidak bekerja. Itu sungguh tidak nyaman untuk saya. Setiap saya mengunjungi orangtua, papa selalu menyindir saya dan suami. Mempengaruhi hubungan saya dengan suami. Laki-laki mana yang harga dirinya tidak jatuh, bila keputusan orangtua mempengaruhi keputusan dalam rumah tangganya.

Saya mengambil sikap bijak dengan mengurangi waktu kunjungan saya ke orangtua. Dengan alasan, mulai bertambah kesibukan, saya mulai membuka TPA. Awalnya mama sempat sedih, tetapi saya menggantinya dengan rajin menelpon beliau dan papa. Prinsip saya, kesedihan tidak perlu dibagi, tetapi bagilah kebahagiaan diri sekecil apapun. Saya merasa belum bisa membahagiakan orangtua secara maksimal, jadi bagaimana caranya saya tidak membuat orangtua menangis karena sikap dan kata-kata saya.

Mama-papa tidak pernah mengerti, sesungguhnya di hati saya mulai timbul rasa minder. Mengapa? Karena sejak selesai kuliah saya tinggal di rumah sendiri, mulai merasakan pertanyaan-pertanyaan aneh. Sudah berapa tahun menikah? Kenapa belum dikasih momongan, dan sebagainya. Tidak hanya di lingkungan perumahan, tetapi juga di lingkungan keluarga besar suami. Apalagi, 2 kakaknya, baru menikah juga langsung punya anak. Kadang saya suka risih dengan pertanyaan-pertanyaan itu, bahkan ada yang sampai vulgar bagaimana cara berhubungan yang baik agar cepat punya anak.

Di situlah saya sering merasa sedih, namun kesedihan itu tidak saya tampilkan. Ya, sejak kecil saya pandai menyimpan kesedihan saya sendiri. Saya lebih suka melarikan kesedihan dengan melakukan kegiatan yang lebih positif. Karena suami, pulang kerja juga sudah malam, dan saya diijinkan untuk menghidupkan dakwah  di perumahan kami yang baru. Kami dianggap suami istri yang lebih mengerti tentang agama, Mengapa? Tahun 1993- 1998 masih sedikit yang memakai hijab. Karena saya datang dengan menggunakan hijab, saya adalah bagian yang sedikitnya. Bahkan boleh dibilang, baru beberapa. Kami senang sekali diajak membuka dan menghidupkan islam di perumahan kami.

Saya mulai dengan mengajar ibu-ibu mengaji, membaca al-quran. Saya mengajarkan mulai dengan menggunakan metode iqra 1-6. Alhamdulillah pernah menjadi tenaga pengajar TPA di masjid kampus. Pengalaman itu yang  saya ajarkan kepada ibu-ibu diperumahan. Mereka senang sekali, karena saya sabar mengajarkan mereka. Hebatnya, dalam 3 bulan mereka bisa lancar membaca. Subhanallah senangnya. Itu memacu semangat saya lagi. Saya bisa melepaskan kesumpekan pikiran dari kata-kata dan kegundahan akan belum hadirnya seorang momongan dirumah ini. Juga kesendirian di rumah karena suami bekerja dan pulang malam.

Dan rupanya, berita itu mulai menyebar dari mulut ke mulut. Padahal yang berhasil baru beberapa orang, tetapi sudah menyebar ke blok-blok lain. Saya jadi malu, apalagi beberapa orang tua sudah mulai menitipkan anak-anaknya untuk mengaji. Saya terima dengan senang hati, suami juga mulai menyewa rumah untuk dibuat sebagai cikal bakal mushola perumahan atau di blok kami. Saya ingat mulai dari 10 anak saya pindahkan ke mushola tersebut, agar belajarnya lebih leluasa.

Lama-lama kepercayaan orang tua mulai bertambah. Saya juga mulai di daulat untuk membuat pengajian ibu-ibu. Awalnya dimulai pengajian malam jumat, yang bikin pusing adalah saya juga harus memimpin dan member materi. Mashaallah saya sempat takut. Memang sih, selama kuliah saya rajin mengaji dan mengikuti pengajian . Tapi saya merasa belum pantas untuk menjadi pemberi materi. Namun, posisi dan keadaan saya adalah saya dianggap sebagai orang yang mau mengajarkan agama dan mempunyai kemampuan untuk mengajar dengan baik dan sabar.

Glek! Saya merasa tidak berdaya dengan permintaan itu. Setelah berdiskusi dengan suami, saya diijinkan untuk lebih banyak lagi aktif di dunia dakwah. Dengan catatan, tidak membuat saya lelah dan melupakan kewajiban sebagai seorang istri. Perjanjian itu saya sanggupi. Saya tahu, saya belum memberinya anak, program kami adalah memiliki momongan. Dengan mengucapkan bismillah saya mulai mantap menjalani dunia dakwah.

Saya mulai mencari informasi pelatihan guru TPA seperti BCM (Baca-Cerita-dan Menyanyi). Awalnya saya ajak adik-adik saya dan adik suami untuk membantu saya. Sambil saya merekrut anak-anak muda baik yang masih sekolah atau yang masih menganggur. Jadilah rumah saya sebagai markas tempat berkumpul. Agak risih juga ketika, guru-guru TPA ulai memanggil saya dengan umi, dan mulai ditiru oleh para orang tua. Saya hanya bisa pasrah menanggapi panggilan itu, kata suami panggilan baik terima saja. Mungkin karena perumahan baru, terasa sekali mereka membutuhkan figur-figur yang mengerti tentang agama.

Dan saya menjadi orang yang bersyukur karena mendapat hidayah dan diikuti kehausan saya belajar agama selama di kampus. Artinya, tidak cukup hanya dengan memakai hijab saja. Tetapi mencari ilmu agama yang selama ini banyak sekali yang diajarkan Al-Quran dan rosulullah. Semakin saya banyak belajar, semakin merasakan betapa bodohnya saya. Dan bersyukurnya, saya rajin mencatat ilmu-ilmu itu. Itu yang menjadi bekal saya untuk mengajar untuk ibu-ibu.

Mulai dari 1 majelis taklim, kemudian merambah lagi, lama-lama tak terasa hampir 7 majelis taklim di perumahan yang cukup besar itu. TPA yang kami bangun pun mulai mendapat kepercayaan dari orang tua. Semakin banyak orangtua yang menitipkan anak-anaknya. Padahal kami tidak promosi. Tapi subhanallah dalam setahun jumlahnya hampir 100. Kami mulai merasakan rumah yang kami sewa sementara untuk mushola dan TPA terasa mulai sempit. Padahal kami buka 4 sesi. Pagi jam 8-10 , jam 10-12, jam 15.30-17.00 dan jam 18.30 sampai 20.00 diselingi sholat isya berjamaah.

Antusiasme orangtua dan aplaus dari pengurus RW untuk mendukung kami sangat besar. Sesungguhnya, saya belum mempunyai pengalaman mengajar yang maksimal. Tetapi entah mengapa dari anak-anak, remaja sampai orangtua jatuh cinta dengan cara saya mengajar. Sungguh, pengalaman saya minim sekali. Modal saya karena saya mencintai dunia anak-anak, dan mau mengajar mereka dengan sabar, mau belajar, itu saja. Saya libatkan orangtua santri TPA yang sudah mampu membaca al-quran untuk terjun mengajar sebagai praktek mereka. Juga para remaja, saya menghibur diri sendiri,  ah memang moment saya saat itu tepat. Disaat ghirah/ semangat agama orang-orang itu sedang tinggi, disitulah saya ada. He he saya tidak mau pusing memikirkan hal itu.

Saya lebih pusing karena mengapa saya belum kunjung juga dikaruniai kehamilan. Memang sih tidak merasakan kesepian karena kesibukan, tetapi saat melihat anak orang, ibu yang menggendong anak, terkadang membuat naluri keibuan saya merasa sedih dan ingin. Sajadah dan malam-malam panjang saya menjadi saksi atas kesedihan saya. Saya sempat melontarkan kegelisahan saya, kepada suami. Tetapi suami menganggap saya berlebihan. Tunggu sajalah, jangan suka melihat orang lain.

Hingga di tahun ke-empat saya tidak kunjung hamil. Saya mulai pasrah, sempat menyampaikan kepada suami, kalau mau menikah lagi tidak apa-apa. Saya merasa gagal sebagai seorang perempuan, itu perasaan lebai saya. Suami hanya tertawa dan mengabaikan kata-kata saya. Diam-diam saya mulai berobat. Dokter mengatakan, bahwa saya tidak mengalami masalah apapun. “Sabar ya bu” kata dokter. Kemanapun orang menyarankan, saya pasti segera mencoba selama itu masuk logika saya. Dari mulai makanan, jamu sampai ke dokter pun saya lakoni. Sampai tahun ke empat berakhir tidak juga kunjung di karunia kehamilan.

Akhirnya saya mulai pasrah sesungguhnya pasrah. Yakin pasti ada scenario Allah yang terbaik untuk hidup saya. Saya mulai mengendorkan pikiran dan perasaan saya. Dan santai melewati kehidupan dan kegiatan. Terlebih tidak menyangka, jumlah santri  TPA terus bertambah hingga angka 400, subhanallah. Disitu saya merasa bersyukur, mungkin Allah ingin saya  mengurus umat dahulu dengan keikhalasan. Sebelum  saya  diberi amanah.Hal itu melegakan saya. Setiap pertanyaan, saya anggap sebagai doa untuk saya, agar saya tidak merasa tertekan.

Di awal tahun kelima, saya di ajak pulang kekampung suami di Sumatera sana untuk pertama kali dalam hidup. Pergi jauh menyebrangi pulau Jawa. Saat itu memang benar-benar suasana batin saya lebih ikhlas menjalani hidup.Termasuk akan pergi ke Sumatera, pasti pertanyaan akan lebih banyak lagi. Diperjalanan yang menggunakan bis selama 30 jam, membuat kaki saya bengkak. Saya menganggap itu hanya karena kurang gerak, sehingga peredaran darah kurang lancar.

Saya tidak menganggap apapun, karena saya sudah lelah untuk tes kehamilan yang telah membua saya lelah di PHP kata anak sekarang. Hanya kecewa, berharap tes itu mengahsilkan harapan kehamilan, namun selalu berakhir kecewa. Diperjalanan saya tidak pantang apapun. Minuman  bersoda, dan durian. Kebetulan sampai di kampung halaman, sedang panen durian, bikin semakin lahap saja kami.

Sampai 5 hari kemudian kembali lagi saya tidak merasakan apapun. Hanya rok saya rasakan agak sesak nih. Entah kenapa kok kali ini saya ingin sekali melakukan  tes  kehamilan. Dan saya hampir lompat kegirangan saat tahu garis 2 muncul di alat tersebut, setelah 4 tahun biasanya garis 1. Untuk lebih memastikan saya pergi ke bidan, dan ternyata benar saya dinyatakan hamil selama 5 minggu. Subhanallah saya merasakan bahagia yang amat sangat. Begitu juga dengan suami saya, tapi kegiatan saya tetap berjalan seperti biasa. Agak menyesal sekali selama perjalanan ke Sumatera makanan  dan minuman saya tidak dijaga.  Semoga tidak berpengaruh berarti.

Saya sangat merasakan kebahagiaan, selama hampir 3 bulan lebih, lebih bahagia lagi, kehamilan saya membuat hubungan dengan mama-papa jadi mencair lagi. Hanya memang saat itu, ibu mertua menyarankan untuk periksa kehamilan di RSCM  saja. Padahal jarak rumah kami  di Bekasi Timur ke rumah sakit di Jakarta itu lumayan jauh. Dengan kendaraan yang masih minim, dan kebanyakan supirnya ugal-ugalan. 

Hari itu adalah saat saya memeriksakan kehamilan saya dalam bulan ini. Sewaktu berangkat Alhamdulillah supirnya sopan. Namun saat pulang, supir dengan seenaknya melewati polisi tidur tanpa memberitahu. Sedangkan posisi saya saat itu di belakang, terasa mual dan pusing. Nah yang bikin lebih pusing itu adalah tiba-tiba supir melewati posisi tidur lebih keras lagi. Perut saya rasakan tidak karu-karuan. Saya hanya bisa marah-marah sendiri dalam hati, karena melihat wajahnya, agak takut juga saya untuk protes langsung ke dia.

 Hari itu saya rasakan biasa saja, tapi besok pagi saya mendapati flek darah disertai gumpalan darah sebesar hati ayam. Saya kaget, tapi yang terjadi saya merasakan seperti haid. Walau tidak deras. Hanya sedikit-sedikit saja. Tapi perut saya rasanya tidak karu-karuan. Sorenya saat saya sampaikan  ke bidan terdekat, bidan mengatakan bahwa bayi saya sudah tidak terdeteksi lagi jantungnya, saat itu umur bayi adalah 4 bulan 3 minggu. Saya shock sekali, begitu mendengar harus di kuret. Papa yang saat itu mulai pensiun, mengantarkan saya kesana. Mama sedang sakit, rupanya mama merasakan kesedihan apa yang saya rasakan.

Saya mau cerita sedikit, ada kejadian yang sungguh mengharukan saat saya harus di kuret. Saya berada pada posisi pertama dengan deretan antrian yang banyak. Saat itu saya belum punya pengalaman sama sekali, dan yang mengantarkan adalah 2 laki-laki. Yaitu papa dan suami saya. Saat masuk saya tidak membayangkan, bila ternyata dilakukan system sedot. Rasanya nyawanya saya, hampir melayang. Badan saya serasa dingin. Perut rasanya sakit dengan sedotan itu. Lemah tak berdaya merasakan tubuh tak bertulang.

Dalam keadaan seperti itu yang terbayang oleh saya adalah, membayangkan santri-santri TPA saya dimana saya adalah kepala sekolah dan guru yang paling ditunggu di kelas setiap hari. Ya mengaji TPA seminggu 3 kali. Lalu saya terbayang papa dan mama saya, terakhir suami saya. Dalam lemah saya, saya meminta Allah untuk memberikan saya hidup untuk segala tugas yang saya anggap belum  tuntas. Entah berapa lama keadaan itu, tahu-tahu saya bangun di ruangan serba putih. Rupanya saya sudah di ruangan perawatan.  Di sebelah kamar eksekusi kuret. Alhamdulillah saya masih diijinkan Allah untuk melanjutkan hidup.

Belum pulih rasa sakit dan lemah saya, tiba-tiba saya mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati. Saya kaget sekali, papa memegang tangan saya dengan erat menguatkan. Suami saya sedang mengubur bayi kami. Kata papa, kami diperlihatkan gumpalan cairan darah di plastik kiloan, terlihat ada mata dan sebagainya. Dan dokter bilang adalah bayi laki-laki. Saya bersyukur yang pertama, bayangkan kalau saya yang ke-2, apa  nyali saya akan kuat untuk melakukan itu setelah mendengar teriakan perempuan itu?

Baru kemudian saya tahu belakangan, rupanya saya dan perempuan lainnya, di kuret oleh mahasiswa tingkat akhir kedoktera UI. Jadi kami ini adalah kelinci percobaan mereka. Pantas sakit, karena mereka belum berpengalaman. Kalau boleh dibilang mal praktek.Saya tahu belakangan dari seorang suster yang baik hati menjelaskan pertanyaan mengapa kuretnya sakit sekali. Kata suster, kalau dokter yang melakukan, lebih berpengalaman, dan pasien tidak sampai sakit-sakit.

Hanya 2 hari pemulihan, saya boleh pulang kerumah. Saya lewati dengan kesedihan yang amat sangat. Saya lihat raut wajah mama menguatkan batin saya. “Wajar mbak, namanya kembang, gugur dulu. Nanti pasti bisa hamil lagi” kata mama. Banyak yang memberikan dukungan, dengan menengok saya dirumah. Tapi yang paling membahagiakan adalah guru-guru TPA saya dan santri-santri TPA saya. “Umiii cepet sehat, jangan lama-lama sakitnya kata mereka, subhanallah. Benar-benar jadi penguat untuk saya.

Satu hari kemudian, saya pergi kerumah sakit di Bekasi Barat. Menurut info, rumah sakit itu bagus dokternya. Dan Alhamdulillah nya, saya bertemu  seorang dokter yang bernama Dokter Chandra, keturunan India campuran Sumatera. Tutur katanya lembut, saya berkisah bagaimana saya sangat menginginkan hadirnya keturunan . Berapa lama saya menunggu, sampai kisah kuret saya. Dokter itu menanggapi seperti seorang ayah bagi sya. Memahami keinginan saya. Beliau lalu memberikan obat-obatan yang bisa membersihkan  darah tersisa di rahim saya. Agar proses kehamilan berikut lancar.

Dokter meminta saya untuk kembali ke pertemuan berikut setelah obat habis. Dan saya sangat berterimakasih telah melayani saya dengan hati dan kesabaran. Berikutnya saya benar-benar memenuhi permintaannya untuk kembali. Dokter menyampaikan, bahwa pertimbangan saya sudah lama menunggu hadirnya momongan, beliau akan memberikan saya obat yang inshaallah akan membuat saya hamil. Namun sebelumnya, dokter memberitahu bahwa reksiko obat penyubur ini akan terasa hingga 10 tahun  nanti. Apakah saya sudah siap untuk itu? Reksikonya adalah berat badan saya akan bertambah dan bisa lebih besar dari itu.  Hormon saya akan meningkat.

Lalu saya sampaikan kepada dokter Chandra. Seorang wanita, demi memiliki keturunan apapun dikorbankan. Apalagi hanya mengorbankan bentuk tubuh. Karena belum lengkap arti saya sebagai wanita, bila belum dilengkapi hadirnya seorang anak. Saat itu dolar masih senilai 2.400 rupiah. Harga perkapsulnya adalah 60.000. Harus diminum selama 5 hari setiap  bulan setelah haid. Berarti harganya adalah 300 ribu. Cukup mahal untuk ukuran saya waktu itu. Tetapi Alhamdulillah buat suami uang tidak menjadi masalah.  Selama saya masih semangat dan bahagia.

Jadilah saya mulai meminum  kapsul transparan Kristal warna-warni tidak lama setelah kuret. Tentu permohonan doa kepada Allah di setiap sholat wajib dan sunnah terus dilakukan. Pipi saya mulai terlihat gembul. Rok-rok saya juga, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan saat itu. Dokter Chandra sudah memberikan signal efek dari minum obat tersebut. Jadi saya agak santai menyikapinya.

Dan, saya mulai merasakan keajaiban itu di bulan ke-5. Pulang dari Madiun, saya merasakan hal aneh, rok saya mulai sempit. Payudara saya mulai sakit dan terasa bengkak. Penasaran, saya periksa tes kehamilan. Alhamdulillah saya dinyatakan hamil. Luar biasa, bahagianya. Pengalaman lalu membuat saya lebih berhati-hati. Dokter Chandra memberikan saya penguat rahim.

Mama-papa ikut heboh menjaga kehamilan saya. Sedikit cerewet, menyambut cucu pertama untuknya. Saya berusaha tenang, namun lebih ikhlas dan tawadhu memohon diberi kemudahan. Bolak-balik mama-papa ke rumah demi mendukung kehamilan saya kali ini. Namun saya tidak ingin memanfaatkan keadaan ini, kasihan mama-papa. Saya harus membahagiakan bukan merepotkan. Dan kehamilan saya ini ternyata membahagiakan kedua orangtua saya. Harapan mereka berdua akan menimang cucu dari saya.

Kadang-kadang saya geli sendiri dengan cerewetnya mereka berdua. Telpon itu sehari bisa 3x seperti minum obat. Seminggu 3-4x ke rumah. Untung suami saya tidak keberatan. Ternyata itu berdampak ke kesehatan saya. Bahagia dan semangat dari keluarga dan lingkungan menjadi moodboster yang luar biasa untuk saya.  Setiap langkah saya dari rumah penuh dengan doa, sapaan dan doa kerap dilontarkan para tetangga yang begitu menyayangi saya.

Tidak ada hal yang berarti sampai dengan bulan ke empat. Hanya baju-baju saya mulai tidak muat. Ternyta perut saya cepat terlihat di bulan ke-5. Saya harus mengganti baju-baju saya dengan baju gamis. Saya begitu norak sekali, sebentar-bentar mengaca sambil melihat perkembangan perut saya dari waktu ke waktu.. Saya yakin semua wanita di seluruh belahan dunia, pasti merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan.

Oh ya ada yang terlupa saya ceritakan. Setahun sebelumnya, saya melakukan bisnis penjualan baju-baju muslim. Seiring dengan perkembangan, banyak yang memakai hijab efek anak-anaknya TPA. Ya saya memberikan seragam wajib gamis yang warnanya sama. Perkembangan TPA saya saat itu membuat saya, harus merapihkan adinistrasinya. Bayangkan, saking berminatnya terhadap TPA, biaya masuk TPA yang saat itu hampir sama dengan TK, laris seperti kacang goreng.

Imbasnya adalah saya membuka bisnis menjual baju-baju  muslim. Saat itu dengan modal awal 1 juta saya menggunakan agen ibu-ibu pengajian tiap blok yang kekurangan dari segi keuangan, untuk menjadi kegiatan tambahan mereka. Alhamdulillah dalam 6 bulan modal berputar sudah mencapai 5 juta perputarannya. Antusias warga untuk menggunakan identitas muslim betul-betul saya manfaatkan. Bahkan saat lebaran, perputarannya melonjak sampai 10 juta. Jiwa bisnis saya ini saya turunkan dari mama saya yang hanya lulusan SMP. Dan terus berjalan walau kehamilan saya terus membesar.

Nah menginjak kehamilan saya di bulan ke-7 saya memiliki kegiatan TPA yang sangat besar. Ya, saya membuat santri-santri TPA antusias mengikuti kegiatan acara-acara islam untuk menampilkan hasil belajar mereka di TPA. Seperti nasyid, tahfiz al-quran, sajak  islami, hafalan surat-surat pendek dan  menulis kaligrafi. Acara-acara itu sebagai sarana santri menampilkan semua ekspresi hasil belajar dan antusias belajar di TPA. Bahkan kadang, semangat belajar di sekolah mereka kalah dengan semangat belajar di TPA.

Sebuah acara besar sudah kami rencanakan dengan baik. Akan  ada  kegiatan semacam Ekspo Santri TPA dengan bazaar yang mendukung. Kegiatan itu kami kaitkan dengan acara hari besar islam seperti Maulid Nabi. Pusat kegiatan markasnya adalah di rumah kami. Penerimaan ustadz yang  akan mengisi ceramah , juga di rumah kami. Padahal saya tidak memiliki seorang pembantu di rumah. Tetapi Alhamdulillah, para jamaah begitu kompak suami istrinya. Karena anak- anak mereka semua saya tampilkan dengan aneka persembahan. Luar biasa, betapa seorang anak mampu menggerakkan semangat ghiroh orangtua.

Tidak sangka, saya jatuh dari bangku karena kepeleset saat menyiapkan acara besar itu. Posisi bokong saya ter-duduk. Benturannya terasa keras, saya takut sekali terjadi apa-apa dengan kehamilan saya. Semua ikut khawatir akan kejadian itu. Saat itu suami posisi di kantor, tapi kekompakan jamaah dan orang tua santri begitu terasa. Ada yang  segera mengambil mobil, melihat saya sedikit kesakitan. Ada yang menghubungi suami saya di kantor dan meminta ijin untuk membawa saya ke rumah sakit. Saya dengar ada nada khawatir terdengar, tapi masih ada meeting di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi beliau mengijinkan.


Bahagia itu adalah saat dokter mengatakan kehamilan saya tidak terganggu, setelah cek jantung bayi dan lainnya. Alhamdulilah. Benturan yang keras membuat saya kesakitan dan trauma, diatasi dengan sugesti dan nasehat. Dokter tidak berani member sembarang obat untuk kehamilan saya. Paling luka luar diberikan  salep atau obat cair, untungnya tidak ada luka luar. Hanya  sakit kaget mungkin yang saya rasakan. "Sabar ya bang, sedikit lagi abang akan hadir di dunia ini." Saya membahasakan bayi seperti itu saat berdialog dengan sang calon bayi di dalam rahim saya. 

Posting Komentar

7 Komentar