Elmina Indonesia |
Alhamdulillah, akhirnya restu itu datang juga. Saat mama pulang dari rumah sakit, memeluk saya dengan rasa sayang yang amat luar biasa saat itu. Seperti tidak pernah berjumpa sekian lama. “ Mbak, kapan kamu akan menikah? Tapi papa bilang kamu harus mastiin mbakmu sudah tunangan yaa. Papa nggak kasih, kalau mereka belum ada kepastian.” Saya berucap Alhamdulillah atas ucapan mama barusan. Kita memang mengetahui bersama, kalau kakak pertama itu kakunya minta ampun. Beliau katanya sudah punya pacar anaknya dekan tempat dia kuliah di Jawa Tengah sana.
Mama-papa merasa bersalah karena telah menjaga mbak
dengan sedemikian ketat. Maklum anak pertama jadilah ini nggak boleh itu nggak boleh, Ini takut,
itu takut, waaah seperti keramik porselen lah menjaganya jangan sampai pecah.
Berbeda dengan saya, walau saya ditakdirkan sakit bronchitis sejak kecil dan
langganan rumah sakit, kata mama-papa saya bakat tomboy abiis he he, malah di
ler loh dibiarin maksudnya.
Jadilah saya berfikir bagaimana saya harus
berkomunikasi dengan mbak. Bukan baper, saya anak ke-dua tapi sejak kecil
mama-papa selalu mengandalkan saya, jadi mbak sepertinya jeleous gimanaa gitu.
Namanya perempuan semua anak pertama sampe ke tiga jadi tingkat bapernya hampir
tingkat dewa. Keputusannya, saya akan ke
tempat kuliah mbak eh salah maksudnya ke tempat kost mbak, untuk bicara dari
hati ke hati.
Dan, sudah bisa saya tebak. Mbak pasti kaku, alot
dan teriak-teriak kalau bicara. Merasa
benar, merasa paling tua, nggak mau didikte, ga mau dilangkahi dan sebagainya.
Saya Cuma terdiam, menahan sedih atas
banyak tuduhan yang kemudian dilontarkan untuk saya. Yang katanya saya cewek
gatel lah, sudah macem-macemlah, nyusahin orangtua lah. Hhhh, bagaimana saya
bisa menahlukkan mbak yang satu ini.
Pikiran saya terus berfikir keras, sambil menyerap semua kata-katanya.
Lirak-lirik kanan kiri takut teman-teman kostnya mengira kami sedang apa.
“Mbak, kalau mbak berfikir seperti ini, agama tidak
pernah mengajarkan kita seperti itu. Saya justru menikah karena saya tidak
ingin maksiat. Mbak mau adik-adik mbak hamil dulu sebelum menikah gitu? Mbak
nggak malu? Mama-papa gimana? Mana yang mbak pilih, berbesar hati kami menikah
baik-baik atau karena married by accident mbak? Bukannya sudah kegatelan, saya
juga kan mau penempatan kerja ke daerah.
Saya inginnya jangan sampai dilempar jauh juga, syaratnya ya nikah juga mbak. Dosen saya sudah menyampaikan itu.
Tapi, utamanya ya karena ingin menghindari maksiat, kita sudah dewasa mbak.
Laki-laki dan perempuan jalan berdua bukan muhrim apa jadinya? Saya kan calon
guru mbak.” Berondong saya setelah mbak terdiam. Cukup itu saja, tapi cukup
ampuh bikin mbak tambah diam. Lalu, saat saya bilang, ya sudah kalau mbak
maunya itu. Tangan saya ditarik “ Eh nggak begitu, gue belum siap nikah. Tapi
kalau kamu mau nikah ya nikah saja, akhirnya keluarlah kata-kata itu.
Walau berat dan berliku setelah hampir 2 tahun
pernikahan rahasia saya dengan orangtua , akhirnya kini bisa lebih tenang.
September akan wisuda, Februari 1993 saya menikah . Setelah mbak bertunangan.
Sehingga kehidupan saya kemudian lebih tenang. Saat harus menyelesaikan kuliah.
Karena tinggal jauh dari orangtua ke dua belah pihak, dengan alasan harus menyelesaikan kuliah. Saat itu belum terasa
konflik demi konflik. Saya benar-benar
fokus menyelesaikan kuliah, sambil berjuang mengajukan ke dekan agar nanti saat
penempatan tugas tidak jauh dari tempat
tugas suami.
Konflik baru terasa, saat pengumuman tempat tugas
keluar. Saya sangat kaget sekali, karena ternyata saya ditempatkan jauh sekali.
Yaitu di SMPN-5 Kapahiang Bengkulu. Disitulah mulai terasa konfliknya. Suami
sangat keberatan, mama-papa saya sangat ingin saya berangkat. Terutama papa, terus terang di awal saya masuk kuliah
agak ragu. Karena walau nilai matematika saya 9, sesungguhnya saya takut, saat
di terima di fakultas MIPA jurusan pendidikan
matematika. Begitu kuliah saya selesai dan diangkat CPNS di Bengkulu,
ternyata tidak diijinkan berangkat. Dilema antara suami dan orangtua. Ego saya
mengatakan bahwa saya ingin membahagiakan orangtua, tapi agama mengajarkan saat
perempuan sudah bersuami, suami adalah orangtua. Bakti kita kepada suami di
ajarkan oleh agama.
Butuh waktu untuk memahamkan kepada orangtua saya
bahwa, saya harus mematuhi suami saya. Karena kedua orangtua saya agama aliran kejawen, jadi
belum memahami. Hubungan mulai memanas sejak itu, seolah papa tidak rela,
setelah kuliah ternyata saya tidak
bekerja. Itu sungguh tidak nyaman untuk saya. Setiap saya mengunjungi orangtua,
papa selalu menyindir saya dan suami. Mempengaruhi hubungan saya dengan suami.
Laki-laki mana yang harga dirinya tidak jatuh, bila keputusan orangtua
mempengaruhi keputusan dalam rumah tangganya.
Saya mengambil sikap bijak dengan mengurangi waktu
kunjungan saya ke orangtua. Dengan alasan, mulai bertambah kesibukan, saya
mulai membuka TPA. Awalnya mama sempat sedih, tetapi saya menggantinya dengan
rajin menelpon beliau dan papa. Prinsip saya, kesedihan tidak perlu dibagi,
tetapi bagilah kebahagiaan diri sekecil apapun. Saya merasa belum bisa
membahagiakan orangtua secara maksimal, jadi bagaimana caranya saya tidak
membuat orangtua menangis karena sikap dan kata-kata saya.
Mama-papa tidak pernah mengerti, sesungguhnya di
hati saya mulai timbul rasa minder. Mengapa? Karena sejak selesai kuliah saya
tinggal di rumah sendiri, mulai merasakan pertanyaan-pertanyaan aneh. Sudah
berapa tahun menikah? Kenapa belum dikasih momongan, dan sebagainya. Tidak
hanya di lingkungan perumahan, tetapi juga di lingkungan keluarga besar suami.
Apalagi, 2 kakaknya, baru menikah juga langsung punya anak. Kadang saya suka
risih dengan pertanyaan-pertanyaan itu, bahkan ada yang sampai vulgar bagaimana
cara berhubungan yang baik agar cepat punya anak.
Di situlah saya sering merasa sedih, namun kesedihan
itu tidak saya tampilkan. Ya, sejak kecil saya pandai menyimpan kesedihan saya sendiri.
Saya lebih suka melarikan kesedihan dengan melakukan kegiatan yang lebih
positif. Karena suami, pulang kerja juga sudah malam, dan saya diijinkan untuk
menghidupkan dakwah di perumahan kami
yang baru. Kami dianggap suami istri yang lebih mengerti tentang agama,
Mengapa? Tahun 1993- 1998 masih sedikit yang memakai hijab. Karena saya datang
dengan menggunakan hijab, saya adalah bagian yang sedikitnya. Bahkan boleh
dibilang, baru beberapa. Kami senang sekali diajak membuka dan menghidupkan
islam di perumahan kami.
Saya mulai dengan mengajar ibu-ibu mengaji, membaca
al-quran. Saya mengajarkan mulai dengan menggunakan metode iqra 1-6.
Alhamdulillah pernah menjadi tenaga pengajar TPA di masjid kampus. Pengalaman
itu yang saya ajarkan kepada ibu-ibu
diperumahan. Mereka senang sekali, karena saya sabar mengajarkan mereka.
Hebatnya, dalam 3 bulan mereka bisa lancar membaca. Subhanallah senangnya. Itu
memacu semangat saya lagi. Saya bisa melepaskan kesumpekan pikiran dari
kata-kata dan kegundahan akan belum hadirnya seorang momongan dirumah ini. Juga
kesendirian di rumah karena suami bekerja dan pulang malam.
Dan rupanya, berita itu mulai menyebar dari mulut ke
mulut. Padahal yang berhasil baru beberapa orang, tetapi sudah menyebar ke
blok-blok lain. Saya jadi malu, apalagi beberapa orang tua sudah mulai
menitipkan anak-anaknya untuk mengaji. Saya terima dengan senang hati, suami
juga mulai menyewa rumah untuk dibuat sebagai cikal bakal mushola perumahan
atau di blok kami. Saya ingat mulai dari 10 anak saya pindahkan ke mushola
tersebut, agar belajarnya lebih leluasa.
Lama-lama kepercayaan orang tua mulai bertambah.
Saya juga mulai di daulat untuk membuat pengajian ibu-ibu. Awalnya dimulai
pengajian malam jumat, yang bikin pusing adalah saya juga harus memimpin dan member
materi. Mashaallah saya sempat takut. Memang sih, selama kuliah saya rajin
mengaji dan mengikuti pengajian . Tapi saya merasa belum pantas untuk menjadi
pemberi materi. Namun, posisi dan keadaan saya adalah saya dianggap sebagai
orang yang mau mengajarkan agama dan mempunyai kemampuan untuk mengajar dengan
baik dan sabar.
Glek! Saya merasa tidak berdaya dengan permintaan
itu. Setelah berdiskusi dengan suami, saya diijinkan untuk lebih banyak lagi
aktif di dunia dakwah. Dengan catatan, tidak membuat saya lelah dan melupakan
kewajiban sebagai seorang istri. Perjanjian itu saya sanggupi. Saya tahu, saya
belum memberinya anak, program kami adalah memiliki momongan. Dengan
mengucapkan bismillah saya mulai mantap menjalani dunia dakwah.
Saya mulai mencari informasi pelatihan guru TPA
seperti BCM (Baca-Cerita-dan Menyanyi). Awalnya saya ajak adik-adik saya dan adik
suami untuk membantu saya. Sambil saya merekrut anak-anak muda baik yang masih
sekolah atau yang masih menganggur. Jadilah rumah saya sebagai markas tempat
berkumpul. Agak risih juga ketika, guru-guru TPA ulai memanggil saya dengan
umi, dan mulai ditiru oleh para orang tua. Saya hanya bisa pasrah menanggapi
panggilan itu, kata suami panggilan baik terima saja. Mungkin karena perumahan
baru, terasa sekali mereka membutuhkan figur-figur yang mengerti tentang
agama.
Dan saya menjadi orang yang bersyukur karena
mendapat hidayah dan diikuti kehausan saya belajar agama selama di kampus.
Artinya, tidak cukup hanya dengan memakai hijab saja. Tetapi mencari ilmu agama
yang selama ini banyak sekali yang diajarkan Al-Quran dan rosulullah. Semakin
saya banyak belajar, semakin merasakan betapa bodohnya saya. Dan bersyukurnya,
saya rajin mencatat ilmu-ilmu itu. Itu yang menjadi bekal saya untuk mengajar
untuk ibu-ibu.
Mulai dari 1 majelis taklim, kemudian merambah lagi,
lama-lama tak terasa hampir 7 majelis taklim di perumahan yang cukup besar itu.
TPA yang kami bangun pun mulai mendapat kepercayaan dari orang tua. Semakin
banyak orangtua yang menitipkan anak-anaknya. Padahal kami tidak promosi. Tapi
subhanallah dalam setahun jumlahnya hampir 100. Kami mulai merasakan rumah yang
kami sewa sementara untuk mushola dan TPA terasa mulai sempit. Padahal kami
buka 4 sesi. Pagi jam 8-10 , jam 10-12, jam 15.30-17.00 dan jam 18.30 sampai 20.00
diselingi sholat isya berjamaah.
Antusiasme orangtua dan aplaus dari pengurus RW
untuk mendukung kami sangat besar. Sesungguhnya, saya belum mempunyai
pengalaman mengajar yang maksimal. Tetapi entah mengapa dari anak-anak, remaja
sampai orangtua jatuh cinta dengan cara saya mengajar. Sungguh, pengalaman saya
minim sekali. Modal saya karena saya mencintai dunia anak-anak, dan mau
mengajar mereka dengan sabar, mau belajar, itu saja. Saya libatkan orangtua
santri TPA yang sudah mampu membaca al-quran untuk terjun mengajar sebagai
praktek mereka. Juga para remaja, saya menghibur diri sendiri, ah memang moment saya saat itu tepat. Disaat
ghirah/ semangat agama orang-orang itu sedang tinggi, disitulah saya ada. He he
saya tidak mau pusing memikirkan hal itu.
Saya lebih pusing karena mengapa saya belum kunjung juga
dikaruniai kehamilan. Memang sih tidak merasakan kesepian karena kesibukan,
tetapi saat melihat anak orang, ibu yang menggendong anak, terkadang membuat
naluri keibuan saya merasa sedih dan ingin. Sajadah dan malam-malam panjang
saya menjadi saksi atas kesedihan saya. Saya sempat melontarkan kegelisahan
saya, kepada suami. Tetapi suami menganggap saya berlebihan. Tunggu sajalah,
jangan suka melihat orang lain.
Hingga di tahun ke-empat saya tidak kunjung hamil.
Saya mulai pasrah, sempat menyampaikan kepada suami, kalau mau menikah lagi
tidak apa-apa. Saya merasa gagal sebagai seorang perempuan, itu perasaan lebai
saya. Suami hanya tertawa dan mengabaikan kata-kata saya. Diam-diam saya mulai
berobat. Dokter mengatakan, bahwa saya tidak mengalami masalah apapun. “Sabar
ya bu” kata dokter. Kemanapun orang menyarankan, saya pasti segera mencoba
selama itu masuk logika saya. Dari mulai makanan, jamu sampai ke dokter pun
saya lakoni. Sampai tahun ke empat berakhir tidak juga kunjung di karunia
kehamilan.
Akhirnya saya mulai pasrah sesungguhnya pasrah.
Yakin pasti ada scenario Allah yang terbaik untuk hidup saya. Saya mulai
mengendorkan pikiran dan perasaan saya. Dan santai melewati kehidupan dan
kegiatan. Terlebih tidak menyangka, jumlah santri TPA terus bertambah hingga angka 400,
subhanallah. Disitu saya merasa bersyukur, mungkin Allah ingin saya mengurus umat dahulu dengan keikhalasan.
Sebelum saya diberi amanah.Hal itu melegakan saya. Setiap
pertanyaan, saya anggap sebagai doa untuk saya, agar saya tidak merasa
tertekan.
Di awal tahun kelima, saya di ajak pulang kekampung
suami di Sumatera sana untuk pertama kali dalam hidup. Pergi jauh menyebrangi
pulau Jawa. Saat itu memang benar-benar suasana batin saya lebih ikhlas
menjalani hidup.Termasuk akan pergi ke Sumatera, pasti pertanyaan akan lebih
banyak lagi. Diperjalanan yang menggunakan bis selama 30 jam, membuat kaki saya
bengkak. Saya menganggap itu hanya karena kurang gerak, sehingga peredaran
darah kurang lancar.
Saya tidak menganggap apapun, karena saya sudah
lelah untuk tes kehamilan yang telah membua saya lelah di PHP kata anak
sekarang. Hanya kecewa, berharap tes itu mengahsilkan harapan kehamilan, namun
selalu berakhir kecewa. Diperjalanan saya tidak pantang apapun. Minuman bersoda, dan durian. Kebetulan sampai di
kampung halaman, sedang panen durian, bikin semakin lahap saja kami.
Sampai 5 hari kemudian kembali lagi saya tidak
merasakan apapun. Hanya rok saya rasakan agak sesak nih. Entah kenapa kok kali
ini saya ingin sekali melakukan tes kehamilan. Dan saya hampir lompat kegirangan saat
tahu garis 2 muncul di alat tersebut, setelah 4 tahun biasanya garis 1. Untuk
lebih memastikan saya pergi ke bidan, dan ternyata benar saya dinyatakan hamil
selama 5 minggu. Subhanallah saya merasakan bahagia yang amat sangat. Begitu
juga dengan suami saya, tapi kegiatan saya tetap berjalan seperti biasa. Agak
menyesal sekali selama perjalanan ke Sumatera makanan dan minuman saya tidak dijaga. Semoga tidak berpengaruh berarti.
Saya sangat merasakan kebahagiaan, selama hampir 3
bulan lebih, lebih bahagia lagi, kehamilan saya membuat hubungan dengan
mama-papa jadi mencair lagi. Hanya memang saat itu, ibu mertua menyarankan
untuk periksa kehamilan di RSCM saja.
Padahal jarak rumah kami di Bekasi Timur
ke rumah sakit di Jakarta itu lumayan jauh. Dengan kendaraan yang masih minim,
dan kebanyakan supirnya ugal-ugalan.
Hari itu adalah saat saya memeriksakan kehamilan
saya dalam bulan ini. Sewaktu berangkat Alhamdulillah supirnya sopan. Namun
saat pulang, supir dengan seenaknya melewati polisi tidur tanpa memberitahu.
Sedangkan posisi saya saat itu di belakang, terasa mual dan pusing. Nah yang
bikin lebih pusing itu adalah tiba-tiba supir melewati posisi tidur lebih keras
lagi. Perut saya rasakan tidak karu-karuan. Saya hanya bisa marah-marah sendiri
dalam hati, karena melihat wajahnya, agak takut juga saya untuk protes langsung
ke dia.
Hari itu saya
rasakan biasa saja, tapi besok pagi saya mendapati flek darah disertai gumpalan
darah sebesar hati ayam. Saya kaget, tapi yang terjadi saya merasakan seperti
haid. Walau tidak deras. Hanya sedikit-sedikit saja. Tapi perut saya rasanya
tidak karu-karuan. Sorenya saat saya sampaikan
ke bidan terdekat, bidan mengatakan bahwa bayi saya sudah tidak
terdeteksi lagi jantungnya, saat itu umur bayi adalah 4 bulan 3 minggu. Saya
shock sekali, begitu mendengar harus di kuret. Papa yang saat itu mulai pensiun,
mengantarkan saya kesana. Mama sedang sakit, rupanya mama merasakan kesedihan
apa yang saya rasakan.
Saya mau cerita sedikit, ada kejadian yang sungguh
mengharukan saat saya harus di kuret. Saya berada pada posisi pertama dengan
deretan antrian yang banyak. Saat itu saya belum punya pengalaman sama sekali,
dan yang mengantarkan adalah 2 laki-laki. Yaitu papa dan suami saya. Saat masuk
saya tidak membayangkan, bila ternyata dilakukan system sedot. Rasanya nyawanya
saya, hampir melayang. Badan saya serasa dingin. Perut rasanya sakit dengan
sedotan itu. Lemah tak berdaya merasakan tubuh tak bertulang.
Dalam keadaan seperti itu yang terbayang oleh saya
adalah, membayangkan santri-santri TPA saya dimana saya adalah kepala sekolah
dan guru yang paling ditunggu di kelas setiap hari. Ya mengaji TPA seminggu 3
kali. Lalu saya terbayang papa dan mama saya, terakhir suami saya. Dalam lemah
saya, saya meminta Allah untuk memberikan saya hidup untuk segala tugas yang
saya anggap belum tuntas. Entah berapa
lama keadaan itu, tahu-tahu saya bangun di ruangan serba putih. Rupanya saya
sudah di ruangan perawatan. Di sebelah
kamar eksekusi kuret. Alhamdulillah saya masih diijinkan Allah untuk
melanjutkan hidup.
Belum pulih rasa sakit dan lemah saya, tiba-tiba
saya mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati. Saya kaget sekali, papa
memegang tangan saya dengan erat menguatkan. Suami saya sedang mengubur bayi
kami. Kata papa, kami diperlihatkan gumpalan cairan darah di plastik kiloan,
terlihat ada mata dan sebagainya. Dan dokter bilang adalah bayi laki-laki. Saya
bersyukur yang pertama, bayangkan kalau saya yang ke-2, apa nyali saya akan kuat untuk melakukan itu setelah mendengar teriakan perempuan itu?
Baru kemudian saya tahu belakangan, rupanya saya dan
perempuan lainnya, di kuret oleh mahasiswa tingkat akhir kedoktera UI. Jadi
kami ini adalah kelinci percobaan mereka. Pantas sakit, karena mereka belum
berpengalaman. Kalau boleh dibilang mal praktek.Saya tahu belakangan dari
seorang suster yang baik hati menjelaskan pertanyaan mengapa kuretnya sakit
sekali. Kata suster, kalau dokter yang melakukan, lebih berpengalaman, dan
pasien tidak sampai sakit-sakit.
Hanya 2 hari pemulihan, saya boleh pulang kerumah. Saya
lewati dengan kesedihan yang amat sangat. Saya lihat raut wajah mama menguatkan
batin saya. “Wajar mbak, namanya kembang, gugur dulu. Nanti pasti bisa hamil
lagi” kata mama. Banyak yang memberikan dukungan, dengan menengok saya dirumah.
Tapi yang paling membahagiakan adalah guru-guru TPA saya dan santri-santri TPA
saya. “Umiii cepet sehat, jangan lama-lama sakitnya kata mereka, subhanallah.
Benar-benar jadi penguat untuk saya.
Satu hari kemudian, saya pergi kerumah sakit di
Bekasi Barat. Menurut info, rumah sakit itu bagus dokternya. Dan Alhamdulillah nya,
saya bertemu seorang dokter yang bernama
Dokter Chandra, keturunan India campuran Sumatera. Tutur katanya lembut, saya
berkisah bagaimana saya sangat menginginkan hadirnya keturunan . Berapa lama
saya menunggu, sampai kisah kuret saya. Dokter itu menanggapi seperti seorang
ayah bagi sya. Memahami keinginan saya. Beliau lalu memberikan obat-obatan yang
bisa membersihkan darah tersisa di rahim
saya. Agar proses kehamilan berikut lancar.
Dokter meminta saya untuk kembali ke pertemuan
berikut setelah obat habis. Dan saya sangat berterimakasih telah melayani saya
dengan hati dan kesabaran. Berikutnya saya benar-benar memenuhi permintaannya
untuk kembali. Dokter menyampaikan, bahwa pertimbangan saya sudah lama menunggu
hadirnya momongan, beliau akan memberikan saya obat yang inshaallah akan
membuat saya hamil. Namun sebelumnya, dokter memberitahu bahwa reksiko obat
penyubur ini akan terasa hingga 10 tahun
nanti. Apakah saya sudah siap untuk itu? Reksikonya adalah berat badan
saya akan bertambah dan bisa lebih besar dari itu. Hormon saya akan meningkat.
Lalu saya sampaikan kepada dokter Chandra. Seorang
wanita, demi memiliki keturunan apapun dikorbankan. Apalagi hanya mengorbankan
bentuk tubuh. Karena belum lengkap arti saya sebagai wanita, bila belum
dilengkapi hadirnya seorang anak. Saat itu dolar masih senilai 2.400 rupiah.
Harga perkapsulnya adalah 60.000. Harus diminum selama 5 hari setiap bulan setelah haid. Berarti harganya adalah
300 ribu. Cukup mahal untuk ukuran saya waktu itu. Tetapi Alhamdulillah buat
suami uang tidak menjadi masalah. Selama
saya masih semangat dan bahagia.
Jadilah saya mulai meminum kapsul transparan Kristal warna-warni tidak
lama setelah kuret. Tentu permohonan doa kepada Allah di setiap sholat wajib
dan sunnah terus dilakukan. Pipi saya mulai terlihat gembul. Rok-rok saya juga,
tapi belum ada tanda-tanda kehamilan saat itu. Dokter Chandra sudah memberikan
signal efek dari minum obat tersebut. Jadi saya agak santai menyikapinya.
Dan, saya mulai merasakan keajaiban itu di bulan
ke-5. Pulang dari Madiun, saya merasakan hal aneh, rok saya mulai sempit. Payudara
saya mulai sakit dan terasa bengkak. Penasaran, saya periksa tes kehamilan.
Alhamdulillah saya dinyatakan hamil. Luar biasa, bahagianya. Pengalaman lalu
membuat saya lebih berhati-hati. Dokter Chandra memberikan saya penguat rahim.
Mama-papa ikut heboh menjaga kehamilan saya. Sedikit
cerewet, menyambut cucu pertama untuknya. Saya berusaha tenang, namun lebih
ikhlas dan tawadhu memohon diberi kemudahan. Bolak-balik mama-papa ke rumah
demi mendukung kehamilan saya kali ini. Namun saya tidak ingin memanfaatkan
keadaan ini, kasihan mama-papa. Saya harus membahagiakan bukan merepotkan. Dan
kehamilan saya ini ternyata membahagiakan kedua orangtua saya. Harapan mereka
berdua akan menimang cucu dari saya.
Kadang-kadang saya geli sendiri dengan cerewetnya
mereka berdua. Telpon itu sehari bisa 3x seperti minum obat. Seminggu 3-4x ke
rumah. Untung suami saya tidak keberatan. Ternyata itu berdampak ke kesehatan
saya. Bahagia dan semangat dari keluarga dan lingkungan menjadi moodboster yang
luar biasa untuk saya. Setiap langkah
saya dari rumah penuh dengan doa, sapaan dan doa kerap dilontarkan para
tetangga yang begitu menyayangi saya.
Tidak ada hal yang berarti sampai dengan bulan ke
empat. Hanya baju-baju saya mulai tidak muat. Ternyta perut saya cepat terlihat
di bulan ke-5. Saya harus mengganti baju-baju saya dengan baju gamis. Saya
begitu norak sekali, sebentar-bentar mengaca sambil melihat perkembangan perut
saya dari waktu ke waktu.. Saya yakin semua wanita di seluruh belahan dunia,
pasti merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan.
Oh ya ada yang terlupa saya ceritakan. Setahun
sebelumnya, saya melakukan bisnis penjualan baju-baju muslim. Seiring dengan
perkembangan, banyak yang memakai hijab efek anak-anaknya TPA. Ya saya
memberikan seragam wajib gamis yang warnanya sama. Perkembangan TPA saya saat
itu membuat saya, harus merapihkan adinistrasinya. Bayangkan, saking
berminatnya terhadap TPA, biaya masuk TPA yang saat itu hampir sama dengan TK,
laris seperti kacang goreng.
Imbasnya adalah saya membuka bisnis menjual
baju-baju muslim. Saat itu dengan modal awal
1 juta saya menggunakan agen ibu-ibu pengajian tiap blok yang kekurangan dari
segi keuangan, untuk menjadi kegiatan tambahan mereka. Alhamdulillah dalam 6
bulan modal berputar sudah mencapai 5 juta perputarannya. Antusias warga untuk
menggunakan identitas muslim betul-betul saya manfaatkan. Bahkan saat lebaran,
perputarannya melonjak sampai 10 juta. Jiwa bisnis saya ini saya turunkan dari
mama saya yang hanya lulusan SMP. Dan terus berjalan walau kehamilan saya terus
membesar.
Nah menginjak kehamilan saya di bulan ke-7 saya
memiliki kegiatan TPA yang sangat besar. Ya, saya membuat santri-santri TPA
antusias mengikuti kegiatan acara-acara islam untuk menampilkan hasil belajar
mereka di TPA. Seperti nasyid, tahfiz al-quran, sajak islami, hafalan surat-surat pendek dan menulis kaligrafi. Acara-acara itu sebagai
sarana santri menampilkan semua ekspresi hasil belajar dan antusias belajar di
TPA. Bahkan kadang, semangat belajar di sekolah mereka kalah dengan semangat
belajar di TPA.
Sebuah acara besar sudah kami rencanakan dengan
baik. Akan ada kegiatan semacam Ekspo Santri TPA dengan bazaar
yang mendukung. Kegiatan itu kami kaitkan dengan acara hari besar islam seperti
Maulid Nabi. Pusat kegiatan markasnya adalah di rumah kami. Penerimaan ustadz
yang akan mengisi ceramah , juga di rumah
kami. Padahal saya tidak memiliki seorang pembantu di rumah. Tetapi Alhamdulillah,
para jamaah begitu kompak suami istrinya. Karena anak- anak mereka semua saya
tampilkan dengan aneka persembahan. Luar biasa, betapa seorang anak mampu
menggerakkan semangat ghiroh orangtua.
Tidak sangka, saya jatuh dari bangku karena
kepeleset saat menyiapkan acara besar itu. Posisi bokong saya ter-duduk.
Benturannya terasa keras, saya takut sekali terjadi apa-apa dengan kehamilan
saya. Semua ikut khawatir akan kejadian itu. Saat itu suami posisi di kantor,
tapi kekompakan jamaah dan orang tua santri begitu terasa. Ada yang segera mengambil mobil, melihat saya sedikit
kesakitan. Ada yang menghubungi suami saya di kantor dan meminta ijin untuk
membawa saya ke rumah sakit. Saya dengar ada nada khawatir terdengar, tapi
masih ada meeting di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi beliau
mengijinkan.
Bahagia itu adalah saat dokter mengatakan kehamilan
saya tidak terganggu, setelah cek jantung bayi dan lainnya. Alhamdulilah.
Benturan yang keras membuat saya kesakitan dan trauma, diatasi dengan sugesti
dan nasehat. Dokter tidak berani member sembarang obat untuk kehamilan saya.
Paling luka luar diberikan salep atau
obat cair, untungnya tidak ada luka luar. Hanya sakit kaget mungkin yang saya rasakan. "Sabar
ya bang, sedikit lagi abang akan hadir di dunia ini." Saya membahasakan bayi
seperti itu saat berdialog dengan sang calon bayi di dalam rahim saya.
7 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusaldi
BalasHapusXII tkj3
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusChriis Hartanto XII TKJ3
BalasHapusArlingga Prayudana
BalasHapusXII TKJ 3
Rizky fahla p XII tkj 3
BalasHapusnovia erviana
BalasHapusXII tkj 3