Ketika Hidayah Menyapa

Tak terasa sudah berhijab hampir 27 tahun lalu. Kalau ingat bagaimana sebelum berhijab, suka sediih. Secara biar minimalis gini pemain basket loh saya. Sejak 1 SMP sampai 2 SMA saya menekuni eskul dan olah raga basket. Lumayan, secara pelatih basketnya Ambon manise, memotivasi sekali untuk terus menekuni.

Tahu sendiri kan? Baju pemain basket seperti apa? You can see dan celana ngepress. Super bohay bukan? Kebayang saya mengumbar aurat ini kepada siapapun di tengah ranumnya kemudaan saya. Nah setelah kelas 3 SMA saya mulai vakum dari kegiatan basket. Kemudian mulai memahami sekeliling saya saat itu. Karena memang selama ini full sekali kegiatan saya. Selain sebagai pelajar, aktif di basket, juga dipercaya untuk rajin mengikuti olimpiade MIPA untuk 3  mata pelajaran Kimia- Matematika dan Fisika.

Disaat kosong itulah saya mulai memperhatikan, ternyata ada teman dari jurusan fisika dan IPS yang sudah mendapat hidayah lebih dulu untuk berhijab. Nah menjelang ujian seringkali saya melihat mereka berdua semakin sering bongkar pasang. Tahu sendiri kebetulan kepsek dan wakasek saya non muslim. Anti sekali pakaian itu. Dari rumah pakai, sampai sekolah bongkar, nanti pulang pakai lagi.

Puncaknya menjelang ujian, mereka semakin sering kali Wakasek si kumis tebal memarahi mereka saking bandelnya menurut aku. Maklum saya dulu tidak paham, walau rajin mengaji, tapi masih memakai kerudung tipis saja belum yang namanya hijab atau jilbab. Sarungan biasa seperti orang Madura.

Dulu sempat terucap di mulut saya:
"Najis! Nggak kasihan apa sama orang tua kalau begitu?" Kataku dengan sombongnya. Masih kuingat sekali dengan jelas.

Namun siapa menyangka, ucapan yang kulontarkan jelang ujian SMA Mei itu ternyata berbalik padaku di tiga bulan berikutnya. Allah membalik hatiku dan ucapanku, saat pertama perkuliahan awal September melihat setiap pertemuan ada saja yang memakai hijab. Wajah putih bersinar bikin adem aku melihatnya. Padahal di lemariku tidak pernah ada baju panjang sedikitpun. Semuanya baju lengan pendek dan celana panjang. Nggak enaklah pakai rok nyupret banget pahanya pikirku konyol.

Tapi aku masih ragu untuk mengikuti jejak hatiku ini, sementara mata kuliah agama ditaruh di semester satu, kemudian ada asistensinya yang mimpin kakak senior semester 4-5 yang kuingat kak Jamil yang pernah menjadi Pemred Republika. Kini beliau dikenal sebagai motivator ulung. Beliau dulu sangat memotivasi kami para junior untuk urusan agama.

Kuingat jelas sekali kata-kata nya. Kalau setiap hari kita berbuat kebaikan nilainya satu, sholat satu, tapi terus mengumbar urat nilainya minus satu. Kalau aku hanya sholat saja tanpa berbuat kebaikan berarti nilaiku nol dong? Sholat plus satu mengumbar urat minus satu. Satu dikurang satu nol dong? Iya kalau diberi waktu kalau nggak? Keburu digeleng maut? Walaah pikiranku jelek banget.

Sementara aku masih ingin menyelesaikan kuliah, membahagiakan mamah papah ku, bahkan bersemangat untuk menghajikan dengan hidayahku ini. Namun aku tahu persis, kedua orang tuaku kejawen. Pasti akan menolak habis-habisan rencanaku untuk berhijab. Anganku terus melayang ke rumah. Untuk meminjam baju lengan panjang papah sementara belajar berhijab dengan modal dua jilbab putih dan hitam saja.

Ternyata benar, papah marah sekali dengan keputusanku berhijab. Beliau mengancam tidak akan menerimaku di rumah jika aku terus berhijab. Buku-buku kuliahku akan dibuang ke jalan bila tetap membandel. Beliau berharap tinggi aku nggak neko-neko selama masa kuliah. Ditambah, aku harus menikah demi menghindari ikhtilat. Hubungan persahabatan ku dengan sahabatku yang berbeda empat tahun usia, menginjak menjadi kekasih. Semenjak papah mamah merestui hubungan kami namun belum untuk menikah.

Ketika kukatakan minta putus untuk menjagaku dari ikhtilat dan hijabku, dia menolak untuk melepaskan ku. Dia berkilah untuk mendapatkanku sangat sulit, harus bersaing dengan mantan tunanganku orang Madiun, beberapa laki-laki yang juga menginginkanku setelah lulus SMA ini. Jadi, dia putuskan untuk segera melamar ku karena tak ingin berpisah dariku, perempuan yang sudah dikenalnya sejak 6 tahun lalu walau awalnya sebagai sahabat di Pramuka.

Dua hal inilah yang menambah amarah papah. Beliau nggak ingin aku mendahului kakakku. Sebagai anak kedua beliau ingin aku menghormati kakakku untuk menikah pertama. Lalu, kalau dia belum punya jodoh berapa lama aku harus menunggu? Begitu pikiran kami berdua.

Akhirnya dengan perjuangan yang berat dan harus mondar-mandir Bogor- Jakarta - Bekasi. Setelah empat bulan kedua orang tuaku mendiamkanku, dan tidak pernah menengokku apalagi kirim uang, akhirnya restu dan hidayah itu datang juga dari kedua orang tuaku.  Setahun setelah kami berdua menikah siri di hadapan wali hakim, enam bulan menjelang kelulusanku di kampus mamah papah mau memelukku kembali dan mengijinkan kedua orang tua suami datang kembali melamar ku. 

Untungnya aku belum hamil, sehingga orang tuaku tak perlu malu dengan pernikahan mendadakku. Begitu ijin kakak diberikan, kamipun langsung memutuskan menikah resmi 2 bulan berikutnya. Dan hijab ini tetap bertahan sampai suamiku meninggal  di 20 tahun berikutnya. Hingga saat ini, jilbab ini tetap menemani di hari tuaku bersama tiga anak Sholeh. Semoga tetap Istiqomah hingga akhir ku pulang menghadap-Nya.

#ODOP
#EstrilookCommunity
#Day28

Posting Komentar

0 Komentar