Pixabay |
Kalau ingat perjalanan untuk bisa menulis konsisten itu suka banyak rasa. Ada penyesalan, ada ga kesampaian dan sebagainya. Tetapi, di balik itu semua adalah rasa syukur yang tetap dikedepankan.
Dulu mau bisa menulis harus punya mesin tik kalau mau dimuat, harus rajin mejengin tulisan di Mading sekolah (sayang sekolah saya untuk Mading sekolah nggak aktif dan nggak ada), harus rajin nulisin diary biar terlatih dsb. Sampai saya niat banget masuk kuliah bidang wartawan, sayang keuangan keluarga tidak mumpuni. Akhirnya jadilah saya menerima PMDK di D-3 Pend. Matematika IPB yang arah-arahnya adalah guru.
Sekarang maah komunitas menulis, info training workshop, buanyaaak dan menjamur, serta terbuka luas. Nggak kaya dulu, susah, tertutup, dan jauh dari peradaban menulis #eaaaa serasa. Sampai mau hubungan sama Ibu NH Dini penulis saja susah banget infonya. Padahal saya dikirimin novelnya loh oleh beliau via Koran Suara Pembaharuan.
Dulu mah, nulis cuma bisa di diary saja terus diledekin saudara-saudara sudah bapeeeer banget. Ngedown terus males deh nulis lagi, habis malu takut dibacain lagi . . .
Sekarang, mau nulis dimanapun fasilitasnya banyak, di gadget, di blog, wattpad, dan media sosial lainnya lagi. Nggak perlu bakat, selagi mau nulis, mau belajar, pasti jalannya banyak.
Training secara online dan offline juga terbuka, baik gratisan sampai yang berbayar semua ada. Mau belajar privat atau klasikal juga terbuka lebar informasinya, dengan catatan ada uang, waktu, dan tenaga di investasi kelas ini. Enaknya lagi, murah, nggak semahal dulu.
Itu kenapa jadi penulis sekarang saya katakan enak, dibanding dulu zaman saya muda (waduh jadi ketahuan deh umurnya he he). Kita yang lagi semangat menulis bisa masuk komunitas mana saja, agar tulisan bisa diterima, diberi jalan, tempat untuk magang seperti web, atau tempat-tempat lainnya.
Namanya penulis pemula, belum dikenal pula, tentu kita harus rajin kenalan dan gabung dengan banyak komunitas agar eksis terakui. Mau belajar, agar tulisan kita mulai dikenal, dibaca, mulai dari media sosial kita, rajin ikut challenge, menulis di blog, ikut lomba mengasah kemampuan dan sebagainya. Jika ada tawaran menulis tentu senang dong, ada peluang tulisan kita walau satu naskah, terekam dalam satu buku yang kini disebut dengan antologi.
Mulanya dari antologi dulu, ya nggak apa-apa, namanya lagi belajar tentu bertahap sebagai batu loncatan, istilah nya cari jam terbang. Tulisan kita juga belum tentu langsung enakeun (cek urang Sunda mah, langsung bagus.red). Itulah manfaatnya ada editor, atau kita melakukan self editing sebelum tulisan dikirim. Sehingga dengan terus berlatih perang, #eeeh maksudnya berlatih menulis, apalagi sering dikritik atau diberi saran ya jangan marah, namanya juga belajar. Malah seharusnya berterimakasih loh.
Bayangkan, kalau tidak ada komunitas, tidak ada antologi atau kesempatan magang menulis, bagaimana kita bisa tahu tulisan sudah semakin mengalir atau bagus terbaca di mata siapapun yang membaca. Itu kenapa saya baru pedenya nulis antologi dulu untuk menuju solo tulisan saya. Rasanya butuh amunisi kekuatan, keyakinan, bahwa tulisan saya sudah menemukan pembacanya tersendiri, alias penggemar cieeee.
Bicara soal penerbitan, lembaga atau badan usaha yang bergerak dalam menerbitkan tulisan-tulisan kita dalam bentuk buku atau e-book. Saat ini sudah mulai menjamur penerbitan indie selain Mayor yang sudah besar dan mencari penulis untuk diterbitkan tulisannya. Plus minusnya juga ada, kita pelajari semua. Penerbitan indie, tentu semua tulisan akan diterbitkan, ramah kantong, walau harus modal sendiri. Tetapi pemasarannya bisa penulis lakukan sendiri self distributor. Mulai dari promo, menerima PO pre order, sampai pengiriman bisa dilakukan sendiri dibantu penerbit.
Ada jasa design mock-up penerbit yang akan menjadi alat promo di wall media sosial kita. Agar tulisan kita bisa dikenal oleh pembaca. Untuk itu, perlunya kerjasama yang mesra antara penulis dan penerbit. Siapa tahu kan buku kita ternyata booming sampai melebihi ekspektasi penjualan kita wow banget ituh. Karena buat penulis pemula seperti kita, kesabaran menulis dan menerbitkan di penerbitan indie tidak semenguras waktu, dan tenaga saat di penerbitan mayor.
Seorang sahabat yang tulisannya dilamar penerbit mayor sudah 2 tahun nggak jadi-jadi tuh, dari editornya lama, proses mau mock-up lama dan sebagainya. Jadi kalau di penerbitan indie baru 3-4 bulan kita sudah bilang lama, itu artinya kita belum punya pengalaman kesabaran lebih he he. Kecuali kita sudah bisa terkenal dan tulisan kita dianggap selalu viral, booming, atau ditunggu tentu diutamakan. Kalau belum terkenal dan dikenal ya kita harus bersabar untuk prosesnya. Wong mie instant saja masih harus dimasak, bukan begitu ya?? He he santui Ah.
Intinya saya cuma mau bilang, jadi penulis sekarang mudah. Tinggal nulis, punya kemauan untuk Istiqomah. Soal peluang dan jalur penerbitan tulisan kita banyak sekali, mau yang gratisan atau nanti tulisan akan dibayar, itu tinggal pilihan. Sama seperti hidup adalah MEMILIH. Tentunya setiap pilihan ada konsekuensinya tersendiri.
Bekasi, 4 Maret 2019
26 Komentar
bun tulisannya bagus loh, tapi kalau boleh kasih saran nih, lebih baik pakai listicle itu lebih di sukai dan lebih mudah dipahami, hehe. jujur aja sih aku emang anak milenial banget nih, hiks. jadi kadang kalau tulisan narasi gitu aja tanpa diselingi listicle dan gambar suka males baca. tulisannya enggak salah kok, aku tetap baca sampai habis makanya aku bilang tulisannya bagus, tapi ya karena ikutan bw aja, hehe. mohon maaf ya bun, hanya saran. keep writing bun!
BalasHapusGpp mbak ini karena terburu-buru saja soalnya sambil ngawasin simulasi unbk duuuuh terimakasih banget sarannya
BalasHapusYup setuju, Bu. Mulai dari antologi itu adalah langkah pertama belajar kepercayaan diri dalam menulis. Makasih juga diingetin bahwa kalau mau jadi penulis itu gampang, asal punya kemauan untuk istiqamah.
BalasHapusBenar Alhamdulillah inshaallah yang penting judulnya kemauan
Hapussaya ingin lebih rajin menulis, tapi "terhalang" oleh kesibukan domestik sebagai IRT... *halah, alesan saya aja ini ��
BalasHapusIya teh Indari selalu bilang menulis tanpa kata tapi dan nanti
HapusSetuju saya Mis...sekarang medianya banyak jadi mesti bersyukur kita minat menulis jadi tersalurkan. Bahkan mau nulis buku pun dimudahkan jalan.
BalasHapusSemoga semua bikin kita makin semangat yaaa:)
Aaamiiin itu yang ingin saya sampaikan just write ,
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusBener banget Miss. Sekarang udah banyak banget wadah yg memfasilitasi calon penulis. Asal mau terus belajar insya Allah akan maju, terwujudlah impiannya menjadi penulis ��
BalasHapusSetuju mbak Qoty itu yang ingin saya sampaikan, tidak ada kata susah untuk menulis sekarang
HapusZaman kuliah dulu, saya ngirim naskah ke redaksi koran masih pakai mesin ketik, lho. Seru aja, biasanya saya ngetik malam-malam, usai menyelesaaikan semua aktivitas di luar rumah.
BalasHapusMemang berbeda segmen waktu ya sekarang ini juga yang melecut saya
HapusBetul bun, semua ada prisesnya ya, terkadang tidak bisa semulus perkiraan.
BalasHapusBenar jika semua pihak menyadari
HapusSetuju banget Miss, menulis itu skrg mwnjadi lebih mudah, sambil proses belajar meningkatkan skill kita juga melatih mental untuk di kritik dan konsisten untuk membranding diri sebagai penulis. Tentunya menghasilkan karya yang bermanfaat��
BalasHapusBenar mbak Dewi ini yang sedang saya siapkan mental saya
HapusKita kyke deket jmn mudanya ya Mus Juli. Pngen bljr nulis msh sulit aksesnya. Punya buku harian kdg was2 klu dibaca org. Itu buku harian SMA ku msh ada smpi skrg. Hingga kuliah juga msh kusimpan. Alhmdulillah klu sy akhirnya lolos UMPTN Komunikasi Jurnalistik mb. Intinya tp lbh trbuka skrg y klu mau bljr mnulis...thx sharingnya mb
BalasHapusWah selamat ya aku ingin sekali tapi nggak kesampaian mashaallah
HapusIya sih, sekarang memang ada banyak jalan menjadi penulis. Tinggal niat dan kemauan saja
BalasHapusNoted banget hanya kemauan dan semangat
HapusBetul, kemudahan jauh lebih banyak... barangkali itu yg membuat penulis kadang tdk sabar menjalani prosesnya
BalasHapusBenar mbak Sita itu yang saya herankan
HapusNah benar juga mbak padahal kalau dia menyadari proses dulu dan sekarang seperti apa ya hihi
BalasHapusSetuju, Miss. Kitanya saja yang butuh konsisten menulis dan memahami proses dari sebuah naskah menjadi buku siap terbit. Nggak ada kesuksesan yang sim salabim. Kalau mau instant, cetak sendiri aja naskahnya lalu dijilid macam bikin kliping, hehehe ...
BalasHapusWah setuju banget tapi itu perlunya kesabaran edukasi kepada para penulis pemula ya mbak
Hapus