BELAJAR DARI PERUNDUNGAN AUDREY


Dilema nggak sih dengan kemajuan teknologi saat ini? Media sosial sedemikian terpapar dan dekat dalam keseharian kita. Mana lebih banyak? Sisi positif atau negatifnya? Tentu ini kembali berpulang kepada kita, yang sudah dewasa dan menggunakan akal sehat apalagi melalui penyaringan.

Bagaimana dengan mereka yang belum dewasa dan masih dalam lingkungan pubertas kalau nggak bisa dibilang ababil? Ini yang sedang terjadi baru-baru ini dan viral. Salah satunya adalah yang terjadi dengan Audrey siswi SMP kelas 8 di Kalimantan baru-baru ini. Akibat pergaulan bebas siswi SMA yang sudah melupakan norma susila dan kesantunan. Hanya karena ejek mengejek di media sosial dan masalah asmara jadi membutakan nalar dan hijab siswi.

Miris, belum lagi dengan media sosial hoaks juga makin membuat gorengan asyik cerita-cerita soal perundungan ini. Buli membuli atau perundungan menjauhkan keistimewaan bangsa Indonesia yang terkenal ramah tamah. Globalisasi teknologi telah menghilangkan budaya ini sebagai bagian dari negatif yang entah mungkin karena dunia semakin panas ya, berpengaruh juga rupanya.

Kenyinyiran juga menjadi budaya buruk dalam dunia media sosial. Kesibukan mengurus orang lain, kepo, rajin komentar, hingga melupakan sikap-sikap baik yang selama ini sekolah tanamkan. Tak jarang dari situ menimbulkan  masalah hukum dan hadirnya UU ITE yang bersiap untuk menjerat pelakunya.

Tidak ada lagi menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda. Kekeluargaan tidak ada lagi jadi favorit seperti Pancasila sila ke-4.  Mereka yang di usia mencari jati diri lebih mengedepankan ego, agama ternyata tidak lagi menjadi penjaga untuk berbuat mungkar kepada sesama. Mirisnya, yang melakukan adalah ananda siswi SMA yang seharusnya ngemong dan menyayangi yang muda. Intinya pelaku dan korban usia di bawah umur semua. Sedih kan?

Saya sebagai guru, orangtua, muslimah yang berhijab syok dan sangat menyesalkan. Walau saya mengampu pelajaran matematika, moral dan karakter adalah hal terpenting ketimbang memaksakan diri untuk menguasai pelajaran. Saya termasuk guru idealis, pinter itu nggak penting kalau siswa tidak memiliki karakter.

Dua hal yang selalu saya tekankan tujuan belajar di sekolah adalah:

1. Untuk bersosialisasi.

Dengan belajar di sekolah, mengenal 4 norma sosial selama ini menggodok mereka setelah lulus siap terjun menjadi masyarakat dunia, yaitu norma hukum, sosial, agama, dan susila.  Memiliki karakter yang membanggakan dengan kualitas yang mumpuni. Jika ananda di rumah saja, belum tentu bisa belajar bersosialisasi belajar dalam miniatur masyarakat sesungguhnya kelak.

2. Mendapat legalitas

Dengan bersekolah, sesuai program setelah lulus siswa mendapat pengakuan kompetensi berupa rapor dan ijazah. Sekolah adalah lembaga legal yang berhak memberi legalitas hasil evaluasi belajar siswa sebagai output kelulusannya. Kalau tidak sekolah, mana bisa ananda mendapat rapor atau  ijazah? Sesuatu yang masih dibutuhkan di masyarakat dunia sebagai pengakuan kompetensi seseorang.


Jadi, jangan dinodai tujuan-tujuan di atas dengan sikap-sikap dan perbuatan buruk, serta mencederai belajar di sekolah. Saya yakin guru-guru dan orang tua sepakat dan memiliki tujuan sama. Namun apakah kami mampu menghadapi perilaku-perilaku yang mempengaruhi siswa yang berasal dari contoh-contoh di medsos dan diviralkan, lebih parah diduplikasi.

Hal ini jadi PR bersama, sekolah hanya berapa jam? Sekolah bukan tempat penitipan, harus ada kerjasama dengan orangtua. Karena tujuan belajar di sekolah adalah dua hal yang sudah saya tuliskan di atas. Selebihnya, berangkat dari rumah juga karakter itu berangkat.
Perlu kerjasama kompak seluruh stake holder menghadapi dampak negatif globalisasi teknologi komunikasi. Di sini saya mengajak orangtua, untuk mendidik bersama agar tujuan menghasilkan kompetensi ananda dengan karakter yang hebat bisa tercapai. Anak laki-laki atau perempuan saat ini sama kedudukannya, perhatian nya, pendidikannya, dan peluangnya. Tetapi, tentu sesuai dengan tidak melupakan kodrat masing-masing. Wanita itu seharusnya lembut dan keibuan, bukan garang dan tomboi melupakan kodratnya.

Bersainglah dengan positif dan sehat. Kedepankan kekeluargaan, kesantunan, dan keramah tamahan yang menjadi budaya ketimuran bangsa Indonesia. Setuju, Mak? Semoga ini menjadi pelajaran dan evaluasi bagi anak-anak kita di dalam rumah, ya. Jangan lagi terjadi Audrey-audrey lain yang menjadi korban dari perundungan.

#saveaudrey
#nobuli
#saveperundungan
#pendidikanlebihsehat

Posting Komentar

0 Komentar