Covid-19 Jadi Alasan Untuk Menghindari Lebaran

Sampai hari ini aku masih belum mengerti kemana arah perjalanan hidupku bersama mas Juna? Tidak pernah sama sekali mengerti. Ingin menyesali? Sebagai muslimah dan sebagai orang beragama tidak boleh menyesali apa yang sudah terjadi. Tapi, aku menyesal? Sangat menyesal sekali. Dia sama sekali tak pernah belajar dari kesalahan, tidak sekalipun mencoba untuk tidak mengulangi mengapa aku selalu ngambek dan cenderung marah terus dengan keadaan ini. Puncaknya, setelah shalat Iedul Fitri dan salim via online dengan suamiku yang lebih memilih berlebaran bersamanya di sana dan tak pernah peka. Aku memblokirnya. 

Kemarahan, kecemburuan, dan kebencian atas sikapnya yang tidak gentle dan bijak untuk adil pada perkawinan. Ini sudah hari ke-empat Idul Fitri, tak sedikitpun dia pulang untuk berlebaran denganku dan anak-anak ku. Berbagi kebahagiaan dan membahagiakan aku dengan adil setelah di sana. Jujur, di hati ini begitu marah, ingin memaki dan mengakhiri. Tapi pasti hanya sia-sia. Mobil belum lunas, pasti itu alasannya ... Aku yakin, kalau bukan mobil pasti sudah sejak kapan perkawinan ini berakhir. Apatis? Yaa aku sudah sangat apatis sekali, dengan perkawinan ini. 

Aku selalu dipojokkan dengan kata "Tidak Mensyukuri" anugerah pernikahan, artinya? Katanya, seharusnya aku bersyukur ada yang mau menikahiku di umur yang tak lagi muda. Dia lupa, aku sudah kuat sendiri tanpa laki-laki di sisiku. Kalaupun aku menikah, sejujurnya ingin menebus kesalahan pernikahan dengan almarhum suamiku yang telah mendahului kami sejak 2013. Walau aslinya, aku sudah sendiri sejak 2002 karena diapun melakukan poligami dengan perempuan di luar pengetahuan ku. 

Seperti hukum karma? Iya, aku katakan begitu, kalau dulu merasakan jadi perempuan sah pertama pernikahan, kini menjadi perempuan kedua dari suamiku sekarang. Itupun, terjadi setelah 4 bulan pernikahan baru tahu fakta sesungguhnya keluarganya yang dia tutupi selama ini. Apa selama ini nggak peka? Nggak sadar, merasa siiih ... Tapi aku terlalu sibuk cari uang, kuliah S-2, dan job pekerjaan lainnya. Mungkin dikira aku perempuan polos yang gampang dibohongi. Itu kesalahan ...

Walau pada akhirnya Allah bukakan yang terjadi, saat itu sikapku adalah memintanya lepas berpisah dengannya. Tapi dia tak mau melepaskanku sedikitpun dengan alasan sudah sangat menyayangiku. Dengan janji-janji akan berlaku adil padaku, sesuai permintaanku. Tapi, sampai hari ini semua janjinya nol besar. Mei ini adalah tahun keempat perkawinan ini. Apalagi belum ada tanda-tanda aku mendapatkan keturunan darinya. Sekarang, bagaimana mau dapat keturunan, pulang saja bisa dihitung satu bulan berapa kali? Aku merasa dia tak pernah ikhlas. 

Sekuat apapun upayaku, jika tak diimbangi dengan keadilannya serta keikhlasannya memberiku keturunan untuk apa? Tetap, Allah juga berkehendak, aku sadar itu. Astaghfirullah ... Mengapa aku jadi penuh perhitungan begini? Aku lelah dipoligami terus begini, bukan poligaminya yang salah, tapi caranya menjalankan yang belum benar. Apa gunanya? Lebih baik aku sendiri. 

Di tahun pertama pernikahan, aku bisa menutupi keadaan dengan memintanya mengantar pulang ke Jogja dan Semarang tempat bapak ibu angkatku. Sehingga kerabat dan tetangga juga kawan-kawan tak pernah tahu kalau lebaran aku tanpanya. Pasti banyak omongan comel, kok suamimu nggak pulang lebaran, bla-bla-bla. Pernikahan saja, adik-adik ku sudah sukses menebar hoaks kalau aku hanya dipermainkan dengan brondong Juna katanya. Biarlah ... Utamanya adalah anak-anak ku memahami, bahwa posisiku bukan dalam posisi memilih. 

Menikah lagi di umur yang tak muda dengan paket anak-anak yang sudah dewasa, dengan kemudaannya 13th lebih muda masih mau menikahiku sudah bagus. Bisa saja dia memilih yang muda darinya, banyak perempuan bertebaran di mana-mana berlomba-lomba dengan kecantikan dan kemolekannya. Aku? Jauh dari itu, Alhamdulillah awalnya aku mengira dia mencintaiku karena ketulusannya. Entah sampai hari ini.

Lebaran kedua, aku pulang kampung dengan mobil Juna yang kubayari cicilannya dan sulung yang mengendarai. Dia tak berani pulang, gantian katanya. Oke ...

Lebaran ketiga bersamanya lagi, lebaran keempat, terjadi Covid-19 pertama tidak boleh mudik sama sekali. Juga tak berbagi hari lebaran sama sekali. Kini, terjadi lagi. Bukankah normal aku ingin berada di sisi suami, diantar, diajak jalan kemanapun di lebaran ini. Tidak ada sama sekali ... Respon itu. Kebencian ku memuncak, aku bosan memintanya, menyampaikan, menangis pada Allah, jenuh. Apa gunanya? Lebih baik aku sendiri saja, tanpa laki-laki, atau mencari pengganti. 

Laki-laki yang mau tulus menikahi dan menemaniku ibadah hingga hari tua ini berakhir, dan Allah memanggilku kembali kelak. 

Posting Komentar

0 Komentar