Pengertian
Belajar Menurut Teori Sibernetik
Teori
belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori
sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu dengan mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori
sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses
yang akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Bagaimana proses belajar akan berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem
informasi yang dipelajari.
Asumsi lain dari teori sibernetik
adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi,
dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh
sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa
dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan
dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Implementasi teori sibernetik dalam
kegiatan pembelajaran telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, diantaranya
adalah pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemprosesan informasi yang
dikembangkan oleh Gage dan Berliner, Biehler, Snowman, Baine, dan Tennyson.
Konsepsi Landa dalam model pendekatanya yang disebut Algoritmik dan heuristik
juga termasuk teori sibernetik. Pask dan Scott yang membagi siswa menjadi tipe
menyeluruh atau wholist, dan tipe serial atau serialistjuga menganut teori
sibernetik . Masing-masing akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
2. Teori Pemprosesan Informasi
Dalam
upaya menjelaskan bagaimana suatu informasi (pesan pengajaran) diterima,
disandi,disimpan, dan dimunculkan kembali dari ingatan serta dimanfaatkan jika
diperlukan, telah dikembangkan sejumlah teori dan model pemprosesan informasi
oleh pakar seperti Biehler, dan Snowman (1986); Baine (1986); dan Tennyson
(1989). Teori-teori tersebut umunya berpijak pada tiga asumsi (Lusiana, 1992)
yaitu:
a. Bahwa
antara stimulus dan respon terdapat suatu seri tahapan pemprosesan informasi di
mana pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu tersebut.
b.
Stimulus yang diproses melalui tahapan-tahapan tadi akan mengalami
perubahan bentuk ataupun isinya.
c. Salah satu dari tahapan mempunyai kapasitas
yang terbatas.
Dari
ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen struktur dan
pengatur alur pemprosesan informasi (proses kontrol) . Komponen pemprosesan
informasi dipilah menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk
informasi, serta proses terjadinya “lupa”.
Ketiga
komponen tersebut adalah;
1)
sensory reseptor,
2)
working memory, dan
3) long
term memory.
Sedangkan
proses kontrol diasumsikan sebagai strategi yang tersimpan di dalam ingatan dan
dapat dipergunakan setiap saat diperlukan.
Bagan:
Model Pemprosesan informasi (Adaptasi dari Gage dan Berliner)
http://goodman1993.blogspot.com/2014/08/proses-pengolahan-informasi-dan.html
a.
Sensory Receptor (SR)
Sensory
Receptor (SR) merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar.
Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi hanya ditangkap
dalam bentuk aslinya, informasi hanya dapat bertahan dalam waktu yang sangat
singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau berganti.
b. Working Memory (WM)
Working
Memory (WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian
(attention) oleh individu. Pemberian perhatian ini dipengaruhi oleh peran
persepsi.
Karakteristik
WM adalah bahwa;
1) ia memiliki kapasitas yang terbatas, lebih
kurang 7 slots. Informasi di dalamnya hanya
mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa upaya pengulangan atau
rehearsal.
2) informasi dapat disandi dalam bentuk yang
berbeda dari stimulusnya aslinya. Asumsi pertama berkaitan dengan penataan
jumlah informasi, sedangkan asumsi kedua berkaitan dengan pesan proses kontrol.
Artinya, agar informasi dapat bertahan dalam WM, maka upayakan jumlah informasi
tidak melebihi kapasitas WM disamping melakukan rehearsal. Sedangkan penyandian
pada tahapan WM, dalam bentuk verbal, visual, ataupun semantik, dipengaruhi
oleh peran proses kontrol dan seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.
c. Long Term Memory (LTM)
Long Term
Memory (LTM) diasumsikan;
1) berisi
semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu,
2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3)
bahwa sekali informasi disimpan didalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau
hilang. Persoalan “lupa” pada tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau
kegagalan memunculkan kembali (retrieval failure) informasi yang diperlukan.
Ini berarti, jika informasi ditata dengan baik maka akan memudahkan proses
penelusuran dan pemunculan kembali informasi jika diperlukan. Dikemukakan oleh
Howard (1983) bahwa informasi disimpan di dalam LTM dalam bentuk prototipe,
yaitu suatu struktur representasi pengetahuan yang telah dimiliki yang
berfungsi sebagai kerangka untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Dengan ungkapan
lain, Tennyson (1989) mengemukakan bahwa proses penyimpanan informasi merupakan
proses mengasimilasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang telah dimiliki,
yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan (knowledge base)
(Lusiana,1992).
Sejalan
dengan teori pemprosesan informasi, Ausubel (1968) mengemukakan bahwa perolehan
pengetahuan baru merupakan fungsi struktur kognitif yang telah dimiliki individu.
Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa pengetahuan ditata di dalam
struktur kognitif secara hirarkhis. Ini berarti, pengetahuan yang lebih umum
dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh individu dapat mempermudah perolehan
pengetahuan baru yang lebih rinci. Implikasinya di dalam pembelajaran, semakin
baik cara penataan pengatahuan sebagai dasar pengetahuan yang datang kemudian,
semakin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat
diperlukan.
Berpijak
pada kajian di atas, Reigeluth, Bunderson, dan Merrill (1977) mengembangkan
suatu materi penaatan isi atau materi pelajaran yang berurusan dengan empat
bidang masalah, yaitu; pemilihan (selection), penataan urutan (sequencing),
rangkuman (summary), dan sintesis (synthesizing), menurut mereka,
a. Jika isi mata pelajaran ditata dengan
menggunakan urutan dari umum ke rinci, maka isi atau materi pelajaran pada
tingkat umum akan menjadi kerangka untuk mengkaitkan isi-isi lain yang lebih
rinci. Hal ini sesuia dengan struktur representasi informasi di dalam LTM,
sehingga akan mempermudah proses penelusuran kembali informasi
b. Jika rangkuman diintegrasikan ke dalam strategi
penataan isi atau materi pelajaran, maka ia akan berfungsi menunjukkan kepada
siswa (si belajar) informasi mana yang perlu diberi perhatian disamping
menghemat kapasitas WM.
Ada tujuh
komponen strategi teori elaborasi yang dikembangkan oleh Reigeluth dan Stein
yang berpijak pada kajian tentang teori pemprosesan informasi (Dengeng, 1998),
yaitu;
1) urutan
elaboratif,
2) urutan
persyarat belajar,
3)
rangkuman,
4)
sintesis,
5)
analogi,
6)
pengaktif strategi dan kognitif, dan
7)
kontrol belajar.
Sedangkan
prinsip-prinsip yang mendasari model elaborasi meliputi;
a. Penyajian kerangka isi pelajaran (epitome), yaitu
suatu uapaya untuk menunjukkan bagian-bagian utama pelajaran dan hubungan di
antaranya, yang disajikan pada awal pelajaran.
b.
Elaborasi secara bertahap, berkaitan dengan tahapan dalam melakukan
elaborasi isi pengajaran. Elaborasi tahap pertama akan mengelaborasi
bagian-bagian yang tercakup pada elaborasi tahap pertama dan seterusnya.
c. Bagian terpenting disajikan pertama kali.
Penting tidaknya suatu bagian ditentukan oleh sumbangannya untuk memahami
keseluruhan isi pelajaran. Dalam pelaksanaannya tentunya tidak meninggalkan
prasyarat belajar.
d. Cakupan optimal elaborasi, yaitu tingkat
kedalaman dan keluasan elaborasi serta kemudahannya dalam membuat sintesis.
e. Penyajian pensintesis secara bertahap. Setiap
kali melakukan elaborasi dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan di antara
konstruk-konstruk yang lebih rinci yang baru dipelajari, serta menunjukkan
konteks elaborasi dalam optime, sehingga suatu pengajaran akan diterima lebih
dalam karena dipelajari di dalam konteksnya.
f. Penyajian pensintesis. Jenis pensintesis supaya
disesuaikan dengan tipe isi pelajaran. Maksudnya, pensintesis yang fungsinya
sebagai pengkait satuan-satuan konsep, prosedur atau prinsip, supaya
disesuaikan. Seperti struktur konseptual digunakan untuk konsep, struktur
prosedural untuk prosedur, dan struktur teoretik untuk prinsip.
g. Tahapan pemberian rangkuman. Rangkuman yang
dimaksudkan untuk mengadakan tinjauan ulang mengenai isi pelajaran yang sudah
dipelajari, supaya diberikan sebelum menyajikan pensintesis.
Pengorganisasian
isi atau materi pelajaran dengan model elaborasi dilihat kesesuaiannya dengan
psikologi kognitif (struktur kognitif) dan pemprosesan informasi dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Urutan elaboratif dari umum ke rinci sesuai
dengan karakteristik skemata dalam ingatan manusia yang tersusun secara
hirarkhis.
b. Epitome sebagai kerangka isi pelajaran sejalan
dengan skemata yang berfungsi untuk mengintegrasikan kontruk-konstruk ke dalam
suatu unit konseptual. Penyajian epitome pada awal pengajaran juga sesuai dengan
fungsi skemata sebagai kerangka untuk mengkaitkan informasi-informasi yang
lebih rinci.
c.
Jenis-jenis hubungan antara konstruk
yang dispesifikasi dalam model elaborasi sesuai dengan representasi struktur
pengetahuan dalam ingatan.
Proses
pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi
(encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan
(retrieval). Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan
proses penelusuran bergerak secara hirarkhis, dari informasi yang paling umum
dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang
diinginkan diperoleh.
3. Teori Belajar Menurut Landa
Salah satu
penganut aliran sibernetik adalah Landa. Ia membedakan ada dua macam proses
berpikir, yaitu proses berpikir algoritmik dan proses berpikir heuristik.
Proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir yang sistemis, tahap demi
tahap, linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tujuan tertentu.
Contoh-contoh proses algoritmik misalnya kegiatan menelpon, menjalankan mesin
mobil, dan lain-lain. Sedangkan cara berpikir heuristik, yaitu cara berpikir
devergen, menuju ke beberapa target tujuan sekaligus. Memahami suatu konsep
yang mengandung arti ganda dan penafsiran biasanya menuntut seseorang untuk
menggunakan cara berpikir heuristik misalnya operasi pemilihan atribut
geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah, dan lain-lain.
Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari
atau masalah yang hendak dipecahkan (dalam istilah teori sibernetik adalah
sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Materi
pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur,
linier, sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila
disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk
berimajinasi dan
berpikir.
Misalnya, agar siswa mampu memahami suatu rumus matematika, mungkin akan lebih
efektif jika presentasi informasi tentang rumus tersebut disajikan secara
algoritmik. Alasannya, karena suatu rumus matematika biasanya mengikuti urutan
tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun
untuk memahami makna suatu konsep yang lebih luas dan banyak mengandung
interpretasi, misalnya konsep keadilan atau demokrasi, akan lebih baik jika
proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang “menyabar” atau berpikir
heuristik, dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, motonon,
dogmatik, atau linier.
4. Teori
Belajar Menurut Pask dan Scott
Pask dan
Scott juga termasuk penganut teori sibernetik. Menurut mereka ada dua macam
cara berpikir, yaitu cara berpikir serialis dan cara berpikir wholist atau
menyeluruh. Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan
pendekatan algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berpikir
menyeluruh (wholist) tidak sama dengan cara berpikir heuristik. Bedanya, cara
berpikir menyeluruh adalah berpikir yang
cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem
informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang diamati lebih
dahulu, melainkan seluruh lukisan itu sekaligus baru sesudah itu ke bagian-bagian
yang lebih detail. Sedangkan cara berpikir heuristik yang dikemukakan oleh
Landa adalah cara berpikir devergen mengarah ke beberapa aspek sekaligus. Siswa
tipe wholist atau menyeluruh ini biasanya dalam mempelajari sesuatu cenderung
dilakukan dari tahap yang paling umum kemudian bergerak ke lebih yang khusus
atau detail. Sedangkan siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu cenderung
menggunakan cara berpikir secara algoritmik.
Teori
sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan
pada sistem informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagaimana proses
belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh sistem informasi
yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi,
pemikir, dan pencipta. Berdasarkan pandangan tersebut maka diasumsikan bahwa
manusia merupakan makhluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan
informasi.
Asumsi di
atas direfleksikan ke dalam suatu model belajar dan pembelajaran. Model
tersebut menggambarkan proses mental dalam belajar yang secara tersetrukur
membentuk suatu; sistem kegiatan mental. Dari model ini dikembangkan
prinsip-prinsip belajar seperti:
a. Proses
dalam belajar terfokus pada pengetahuan yang bermakna.
b. Proses
mental tersebut mampu menyandi informasi secara bermakna.
c. Proses
mental bermuara pada pengorganisasian dan pengaktualisasian informasi.
C. Apilkasi Teori Belajar Sibernetik dalam
Kegiatan Pembelajaran
Teori
belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan
bahwa belajar adalah proses intrenasional yang tidak dapat diamatai secara
langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu.
Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas. Menurut Gagne,
untuk mengurangi muatan memori kerja bentuk pengetahuan yang dipelajari dapat
berupa; proposisi, produktif, dan mental images. Teori Gagne dan Briggs
mengpreskripsikan adanya
1)
kapabilitas belajar,
2)
peristiwa pembelajaran, dan
3)
pengorganisasian/urutan pembelajaran.
Mengenai
kapabilitas belajar kaitannya dengan
unjuk kerja dirumuskan oleh Gagne sebagai berikut (Degeng, 1989).
No.
Kapasitas Belajar Unjuk Kerja
1. Informasi Verbal Menyatakan informasi
2. Keterampilan
Intelektual Menggunakan simbol untuk berinteraksi dengan lingkungan.
- Diskriminasi: Membedakan perangsang yang
memiliki dimensi fisik yang berlainan.
- Konsep konkret : Mengidentifikasi
contoh-contoh konkret.
- Konsep
abstrak :Mengidentifikasi contoh-contoh dengan menggunakan ungkapan verbal atau
definis
- Kaidah : Menunjukkan aplikasi suatu kaidah.
- Kaidah
tingkat lebih tinggi : Mengembangkan kaidah baru untuk memecahkan masalah.
3. Strategi
Kognitif Mengembangkan cara-cara baru
untuk memecahkan masalah. Menggunakan berbagai cara untuk mengontrol proses
belajar dan /atau berpikir.
4. Sikap Memilih berprilaku dengan cara
tertentu.
5.
Keterampilan Motorik Melakukan gerakan tubuh yang luwes, cekatan, serta
dengan urutan yang benar.
Teori
belajar pemprosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses
internal yang mencakup beberapa tahapan. Tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan
dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu sebagai
peristiwa pembelajaran (the events of instruction), yang mempreskripsikan
kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapun. Sembilan
tahapan dalam peristiwa pembelajaran yang diasumsikan sebagai cara-cara
eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan
belajar adalah:
1.
Menarik perhatian.
2.
Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa.
3.
Merangsang ingatan pada prasyarat belajar.
4.
Menyajikan bahan perangsang.
5.
Memberikan bimbingan belajar.
6.
Mendorong unjuk kerja.
7.
Memberikan balikan informatif.
8.
Menilai untuk kerja.
9.
Meningkatkan retensi dan alih belajar.
Dalam
mengorganisasikan pembelajaran perlu dipertimbangkan ada tidaknya prasyarat
belajar untuk suatu kapabilitas, apakah siswa telah memiliki prasyarat belajar
yang diperlukan. Ada prasyarat belajar utama, yang harus dikuasai siswa, dan
ada prasyarat belajar mendukung yang dapat memudahkan belajar. Pengorganisasian
pembelajaran untuk kapabilitas belajar tertentu dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pengorganisasian pembelajaran ranah keterampilan inteletual.
Menurut
Gagne, prasyarat belajar utama dan keterkaitan satu dengan lainnya digambarkan
dalam hirarkhi belajar. Reigeluth membedakan struktur belajar sebagai keterampilan
yang lebih tinggi letaknya diatas, sedangkan keterampilan tingkat yang lebih
rendah ada dibawahnya.
2.
Pengorganisasian pembelajaran ranah informasi verbal.
Kemampuan
ini menghendaki siswa untuk dapat mengintegrasikan fakta-fakta ke dalam rangka
yang bermakna baginya.
3.
Pengorganisasian pembelajaran ranah strategi kognitif.
Kemampuan
ini banyak memerlukan prasyarat keterampilan intelektual, maka perlu memasukkan
keterampilan-keterampilan intelektual dan informasi cara-cara memecahkan
masalah.
4. Pengorganisasian
pembelajaran ranah sikap.
Kemampuan
sikap memerlukan prasyarat sejumlah informasi tentang pilihan-pilihan tindakan
yang tepat untuk situasi tertentu, juga strategi kognitif yang dapat membantu
memecahkan konflik-konflik nilai pada tahap pilihan.
5.
Pengorganisasian pembelajaran ranah keterampilan motorik.
Untuk
menguasai keterampilan motorik perlu dimulai dengan mengajarkan kaidah mengenai
urutan yang harus diikuti dalam melakukan unjuk kerja ketrampilan yang
dipelajari. Diperlukan latihan-latihan mulai dari mengajarkan bagian-bagaian
ketrampilan secara terpisah-pisah kemudian melatihkannya ke dalam kesatuan ketrampilan.
Keunggulan
strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemprosesan informasi adalah:
1. Cara berpikir yang berorientasi pada
proses lebih menonjol.
2. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ekonomis.
3. Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih
lengkap.
4. Adanya keterarahan seluruh kegiatan
belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5. Adanya transfer belajar pada lingkungan
kehidupan yang sesungguhnya.
6. Kontrol belajar (content control, pace control,
display control, dan conscious cognition control) memungkinkan belajar sesuai
dengan irama masing-masing individu (prinsip perbedaan individual terlayani).
7. Balikan informatif memberikan rambu-rambu yang
jelas tentang tingkat unjuk kerja yang
telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Dengan
demikian aplikasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran yang dikemukakan
oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) baik diterapkan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2.
Menentukan materi pembelajaran.
3.
Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi pembelajaran.
4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai
dengan sistem informasi tersebut (apakah algoritmik atau heuristik).
5.
Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya.
6. Menyajikan materi dan membimbing siswa belajar
dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran.
TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL
DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
Pada
bagian ini dikaji tentang pandangan teori belajar revolusi-sosiokultural dan
aplikasinya clalam kegiatan pernbelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal
seperti, pentingnya revolusi-sosiokultural dalam belajar, teori belajar
Piagetian, dan teori belajar Vygotsky. Kajian diakhiri dengan memaparkan
aplikasi teori belajar revolusi sosiokultural dalam kegiatan pembelajaran.
A.
Pentingnya Revolusi-Sosiokultural dalam Belajar
Jika kita
terus melangkah dengan cara mengemas pendidikan, pcrnbelajaran, dan belajar
dengan menggunakan paradigma behavioristik, kita akan bertemu dengan anak-anak
yang menjunjung tinggi kekerasan, pemaksaan kehendak, dan
pemerkosaan
nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana tampak selama ini, perilaku manusia
Indonesia sudah terjangkit virus keseragaman, dan virus inilah yang
mengendalikan perilaku masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Kesadaran dan
penyadaran tentang keberagaman (pluralisme) bangsa sangat jauh dari kehidupan
masyarakat. Pola pikir sentralistik, monolitik, uniformistik, sangat kental
mewarnai pengemasan di berbagai kehidupan yang jauh dari konteks sosial budaya
sesungguhnya. Dunia pendidikan paling kentara diwarnai oleh upaya ini.
Asumsi-asumsi
yang melandasi program-program pendidikan dan pembelajaran sering kali tidak
sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang
yang mengajar. Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati
dengan paradigm yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran
secara komprehensif dan kontekstual dengan sosiokultural yang ada.
Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan
teoretik dan konseptual yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran hanya
mengagungkan pada pembentukan perilaku kaseragaman, dengan harapan akan menghasilkan
keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian (Degeng, 2001). Pembentukan
ini dilakukan dengan kebijakan penyeragaman pada berbagai hal di sekolah.
Paradigma pendidikan yang mengagungkan keseragaman ternyata telah berhasil
membelajarkan anak-anak untuk mengabaikan keragaman/perbedaan.
Beberapa
virus yang tampak di dunia pendidikan yang bersumber dari paradigma
behavioristik yang sentralisasi tersebut di antaranya penggunaan pakaian
seragam, penggunaan kurikulum yang seragam, penggunaan strategi pembelajaran
yang seragam, penggunaan buku sumber yang seragam, dan penggunaan strategi
evaluasi yang seragam. Penyeragaman ini sudah pasti dimaksudkan intuk
mengingkari adanya keragaman (Degeng, 2001). Semua bentuk penyeragaman ini
telah berhasil membentuk anak-anak Indonesia yang sangat menghargai kesamaan,
dan tanpa sadar ternyata juga telah berhasiI membentuk anak-anak yang
mengabaikan penghargaan pada pada keragaman. Anak-anak sangat sulit menghargai
perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus
dihukum.
Anak-anak
perlu mempersiapkan diri untuk memasuki era demokratisasi, suatu era yang
ditandai dengan keragaman perilaku, dengan cara terlibat dan mengalami secara
langsung proses pendemokrasian ketika mereka sedang berada di seting belajar
(sekolah). Penghargaan terhadap ketidakpastian, ketidakmenentuan, perbedaan
atau keragaman, perlu ditumbuhkan sedini mungkin. Keterlambatan hanya
memunculkan peluang terjadinya peristiwa kekerasan sebagaimana yang terjadi
akhir-akhir ini.
Kita
perlu melakukan kajiulang, atau dengan ungkapan yang lebih memasyarakat kita
perlu melakukan reformasi, redefinisi, reorientasi bahkan revolusi terhadap
landasan teoritik dan konseptual belajar dan pembelajaran, agar lebih mampu
menumbuhkenmbangkan anak-anak bangsa ini untuk lebih menghargai keragaman
konteks sosial budaya yang ada. Dengan ungkapan lain, kita perlu melakukan
revolusi-sosiokultural (sociocultural revolution) dalam belajar dan
pembelajaran. Kegiatan belajar dan pembelajaran perlu disesuaikan dengan
paradigma revolusi sosial-budaya.
Apakah
dengan upaya demikian sumber daya manusia yang dihasilkan dapat menjawab
tantangan abad global, dalam arti mampu bersaing, memiliki kompetensi yang
dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja abad 21? Kompetensi yang dimaksud adalah
mampu berpikir kreatif-inovatjf, mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah,
belajar bagaimana belajar, berkolaborasi, dan pengelolaan diri.
2. Teori
BeIajar Piagetian
Jean
Piaget seorang psikolog dan pendidik berkebangsaan Swiss, lahir di kota
Neuchâtel, Swiss pada 9 Agustus 1896 dan meninggal di Geneva pada 16 September
1980. Ia terkenal karena teori pembelajaran berdasarkan tahap yang berbeda-beda
dalam perkembangan intelegensi anak.
Menurut
Piaget, siswa adalah anak manusia. Identitas insani manusia sebagai subjek
berkesadaran perlu dibela dan ditegakkan lewat sistem dan model pendidikan
serta pembelajaran yang bersifat “bebas dan egaliter”. Hal itu hanya dapat
dicapai lewat proses pendidikan dan pembelajaran yang memberikan kebebasan
kepada para siswa dan menggunakan metode pembelajaran aksi dialogal. Karena itu
anak harus diperlakukan dengan amat hati-hati.
Teori
kognitif Piagetian yang kemudian berkembang pula aliran konstruktivistik,
menekankan bahwa belajar lebib banyak ditentukan karena adanya keinginan
individu. Penataan kondisi bukan sebagai penyebab terjadinya belajar
sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran behavioristik, tetapi sekedar
memudahkan belajar. Keaktifan siswa menjadi unsur yang amat penting dalam menentukan
kesuksesan belajar. Aktivitas mandiri adalah jaminan untuk mencapai hasil
belajar yang optimal.
Menurut
Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan sistem syaraf.
Makin bertambah umur seseorang, makin komplekslah susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola
tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika individu
berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di
dalam struktur kognitifnya. Perolehan kecakapan intelektual akan berhubungan
dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan ketahui
pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai
pengalaman atau persoalan. Untuk memperoleh keseimbangan atau ekuilibrasi,
seseorang harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi mempunyai
dua bentuk dan terjadinya secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Melalui asimilasi, siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam
struktur kognitif yang telah ada daam dirinya. Sedangkan melalui akomodasi,
siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan
yang baru. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam
struktur kognitifnya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan akan terjadi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat
tahap yaitu, tahap sensorimotor, tahap preoperasional, tahap operasional
konkrit, dan tahap operasional formal.
Teori
konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang luas dan merajai bidang
psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada beberapa aspek dan teori
Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada kegiatan
pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini
(Supratiknya, 2002).
Dilihat
dari locus of cognitive development atau asal-usul pengetahuan, Piaget
cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam
diri individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi
dengan lingkungan sosial. Ia mengkonstruksi pengetahuannya lewat tindakan yang
dilakukannya terhadap lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan merupakan
penciptaan makna pengetahuan baru yang bertolak dari interaksinya dengan
lingkungan sosial. Kemampuan menciptakan makna atau pengetahuan baru itu
sendiri lebih ditentukan oleh kematangan biologis. Menurut Piaget, dalam
fenomena belajar lingkungan sosial hanya berfungsi sekunder, sedangkan faktor
utama yang menentukan terjadinya belajar tetap pada individu yang bersangkutan.
Daniel, Tweed, dan Lehman (dalam Supratiknya, 2002, hal 27) mengatakan bahwa
teori belajar semacam ini Iebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya
belajar Sokratik yang lazim dikaitkn dengan budaya Barat yang mengunggulkan
“self generated knowledge” atau “individualistic pursuit of truth” yang
dipelopori oleh Socrates.
Di
samping itu, dalam kegiatan belajar, Piaget lebih mementingkan interaksi antara
siswa dengan kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi
antara siswa dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih
dewasa. Pembenaran dalam teori Piaget ini jika diterapkan dalam kegiatan
pendidikan dan pembelajaran akan kurang sesuai dengan perspektif
revolusi-sosiokultural yang sedang diupayakan saat ini.
3. Teori
Belajar Vygotsky
Lev
Semenovich Vygotsky lahir pada tanggal 5 November 1896 di Rusia dan meninggal
pada tahun 1934. Walaupun dikenal debagai seorang ahli dalam bidang psikologi,
sebenarnya, Vygotsky tidak pernah menerima pelatihan formal dalam bidang
psikologi.
Vygotsky
mengemukakan pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam
teori belajar dan pembelajaran. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang
harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk
memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusur apa yang ada di balik
otaknnya dan kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dan
interaksi social yang dilatari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).
Peningkatan
fungsi-fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya,
dan bukan dari individu itu sendiri. Interaksi sosial demikian antara lain
berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas dan bahasa yang dipergunakan. Kunci
utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis manusia adalah tanda-tanda
atau lambang yang berfungsi sebagai mediator (Wertsch, 1990). Tanda-tanda atau
lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana
seseorang berada.
Mekanisme
teori yang digunakannya untuk menspesifikasi hubungan antara pendekatan
sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema mediasi semiotik,
yang artinya adalah tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang
terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam
pendekatan sosio-kultura! dan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses
mental (Moll, 1994).
Atas
dasar pemikiran Vygotsky, Moll dan Greenberg (dalam Moll, 1994) melakukan studi
etnografi dan menemukan adanya jaringan-jaringan erat, luas, dan kompleks di
dalam dan di antara keluarga-keluarga. Jaringan-jaringan tersebut berkembang
atas dasar confianza yang membentuk kondisi sosial sebagai tempat penyebaran
dan pertukaran pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai sosial budaya.
Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan ketrampilan melalui interaksi
sosial sehari-hari. Mereka terlihat secara aktif dalam interaksi sosial dalam
keluarga untuk memperoleh dan juga menyebarkan pengetahuan-pengetahuan yang
telah dimiliki. Ada suatu kerja sama di antara anggota ketuarga dalam interaksi
tersebut.
Menurut
Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut
dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan
dimensi individualnya bersifat derivatif atau merupakan turunan dan bersifat
sekunder (Palincsar, Wertsch & Tulviste, dalam Supratiknya, 2002). Artinya,
pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dan sumber-sumber sosial
di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam
perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran
aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Maka teori Vygotsky
sebenarnya Iebih tepat disebut dengan pendekatan kokonstruktivisme. Maksudnya,
perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri
secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Konsep-konsep
penting teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai
dengan revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah hukum
genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona
perkembangan
proksimal (zone of proximal development), dan mediasi.
a. Hukum
genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut
Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua
tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk Iingkungan sosialnya
(dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran
psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai
intrapsikologis atau intramental). Pandangan teori ini menempatkan intermental
atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap
pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Dikatakannya
bahwa fungsi-fungsi mental yang Iebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul
dan berasal dan kehidupan sosialnya. Sementara itu fungsi intramental dipandang
sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan
dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
Pada
mulanya anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu tanpa memahami
maknanya. Pemaknaan atau kontruksi pengetahuan baru muncul atau terjadi melalui
proses internalisasi. Namun internalisasi yang dimaksud oleh Vygotsky bersifat
transformatif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak
sekedar berupa transfer atau pengalihan. Maka belajar dan berkembang merupakan
satu kesatuan dan saling menentukan.
b. Zona
perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky
juga mengemukakan konsepnya tentang zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development). Menurutnya, perkembangan kemampuan seseorang dapat
dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kermampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri. Jul disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan
potensial tampak dan kemainpuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika
berkolaborasi dengan teman sebaya yang Iebih kompeten. Ini disebut sebagai
kemampuan intermental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual
dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal.
Zona
perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan
yang belum matang, yang masih berada pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai
embrio, kuncup atau bunga, yang belum menjadi buah. Tunas-tunas perkembangan
ini akan menjadi matang melalui interaksinya dengan orang dewasa atau
kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Untuk menafsirkan konsep
zona perkembangan proksimal ini dengan menggunakan scaffolding interpretation,
yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai perancah, sejenis wilayah
penyangga atau batu Ioncatan untuk mencapai taraf perkembangan yang semakin
tinggi.
Gagasan
Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori
belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan
perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah
bahwa perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling terkait,
perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent atau tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar
adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Berpijak
pada konsep zona perkembangan proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi
dalam diri anak, atau sebelum kemampuan intramental terbentuk, anak perlu
dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa dan/atau teman sebaya yang lebih
kompeten perlu menibantu dengan berbagai cam seperti memberikan contoh,
memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan sebagainya dalam rangka
perkembangan kemampuannya.
c.
Mediasi.
Menurut
Vygotsky, kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah
tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda
atau lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural
di mana seseorang berada. Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas
manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat psikologis
berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Dalam
kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya
yang Iebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami
proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator
bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan
antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema
mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang
terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas
sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya
proses mental (intramental) (Wertsch, 1990). Ada beberapa elemen yang
dikemukakan oleh Bakhtin untuk memperluas pendapat Vygotsky. Elemen-elemen
tersebut terdiri dari ucapan bunyi suara, tipe percakapan sosial dan dialog, di
mana secara kontekstual elemen- elemen tersebut berada dalam batasan sejarah,
kelembagaan, budaya dan faktor-faktor individu.
Ada dua
jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif (Supratiknya,
2002). Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik bertujuan
untuk melakukan self-regulation atau regulasi diri, meliputi self-planning,
self-monitoring, self-checking, dan self-evaluating. Mediasi metakognitif ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat
semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak
akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana
regulasi diri.
Mediasi
kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang
berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi
kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep
ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-konsep ilmiah yang berhasil
diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam pemecahan
masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif
(declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan berbagai
persoalan, dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge) berupa metode atau
strategi untuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak
mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna, dengan cara memadukan
antara konsep-konsep dan prosedur mclalui demonstrasi dan praktek.
Berdasarkan
teori Vygotsky di atas, maka akan diperoleh keuntungan jika:
a. Anak
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
b.
Pembelajaran perlu Iebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dan
pada tingkat perkembangan aktualnya.
c.
Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya dari pada kemampuan intramentalnya.
d. Anak
diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang
telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat digunakan untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
e. Proses
belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan kokonstruksi, yaitu suatu proses mengkonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sarna antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
C.
Aplikasi Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural dalam Pembelajaran
Gagasan
Vygotsky mengenai reconstruction of knowledge in social setting bila diterápkan
dalam konteks pembelajaran, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut.
Pada
setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran perhatian guru harus
dipusatkan kepada ketompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar
sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat solve problems with help. Guru perlu
menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps) yang dapat
memfasiIitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam kosa kata Psikologi Kognitif, hantuan-bantuan ini dikenal sebagai
cognitive scaffolding. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian
contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-Iangkah
atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya.
Bimbingan
atau bantuan dan orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif
untuk meningkatkan produktifitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya
harus sesuai dengan konteks sosio-kultural atau karakteristik anak. Bimbingan
oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten bermanfaat untuk
memahami alat-alat semiotik seperti bahasa, tanda, dan lambang-lambang. Anak
mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini
berfungsi
sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak.
Maka bentuk- bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif, serta pembelajaran
kontekstual sangat tepat diterapkan.
Kelompok
anak yang cannot solve problem meskipun telah diberikan berbagai bantuan, perlu
diturunkan ke kelompok yang lebih rendah kesiapan belajamya sehingga setelah
diturunkan, mereka juga berada path zone of proximal development nya sendiri
dan, oleh karena itu, siap memanfaatkan bantuan atau scaffolding yang
disediakan. Sedangkan kelompok yang telah mampu solve problems independently
harus ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu buang-buang waktu dengan
tagihan belajar yang sama bagi kelompok anak yang ada di bawahnya.
Dengan
pengkonsepsian kesiapan belajar demikian, maka pemahaman tentang karakteristik
siswa yang berhubungan dengan sosio-kultural dan kemampuan awalnya sebagai
pijakan dalam pembelajaran perlu lebih dicermati artikulasinya, sehingga dapat
dihasilkan perangkat lunak pembelajaran yang benar-benar menantang namun tetap
produktifdan kreatif.
D.
Penutup
Timbul
keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya
berbagai problem sosial seperti ancaman disintegrasi yang disebabkan oleb
fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan pluralisme. Perubahan
struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan
yang disebabkan oleh lemahnya social capital (modal sosial) mendorong mereka
yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma
pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja
pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk
mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar
dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik
yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini
kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut
dalam praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat
yang paling dini hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab
masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu
menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks
sosial budava yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kreatif, kritis, dan
produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan
berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
Pendekatan
kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleb Piaget yang kemudian
berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya.
Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan
implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim
dikaitkan dengan budaya Barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan
revolusi sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Pandangan
yang dianggap Iebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural revolution
adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa
peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dan kehidupan
sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dan individu itu sendiri. Teori
Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
Konsep-konsep
penting dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proximal
development. dan mcdiasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang hams
dimengerti dad latar sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitifsescorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi
kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat
sekunder.
Mendasarkan
teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai
jenis dan tingkatan bantuan (helps/cognitive scaffolding) yang dapat
memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman
yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta
belajar kontekstual sangat tepat digunakan. Sedangkan anak yang telah mampu
belajar sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu
anak yang berada di bawahnya. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang tepat
tentang karakteristik siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran. https://iwansuhardi.wordpress.com/2009/01/05/teori-belajar-revolusi-sosiokultural/
TEORI KECERDASAN GANDA DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
A. PENGERTIAN KECERDASAN GANDA
Kecerdasan
ganda merupakan potensi yang dimiliki seseorang yang dapat diaktifkan melalui
proses belajar, interaksi dengan keluarga, guru, teman dan nilai-nilai budaya
yang berkembang. Kecerdasan mengandung dua aspek pokok yaitu; kemampuan belajar
dari pengalaman dan beradaptasi terhadap lingkungan.
B. SISWA ADALAH INDIVIDU YANG UNIK
Pada
dasarnya siswa adalah individu yang unik. Setiap siswa memiliki potensi dan
kemempuan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tidak semua individu
memilki profil intelegensi yang sama. Setiap individu juga memilki bakat dan
minat belajar yang berbeda-beda.
Setiap
siswa memang memiliki potensi yang berbeda – beda dan memilki pilihan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya, namun ada beberapa pengetahuan dan
kerterampilan dasar yang perlu dimiliki oleh siswa setelah menyelesaikan
pendidikan di sekolah yaitu kemampuan atau kompetensi dalam bidang :
Bahasa
(linguistic)
Matematika
(math)
Ilmu
Pengetahuan Sosial (social sciences)
Ilmu
Pegetahuan Alam (Natural Sciences)
Keempat
bidang ini dapat dipandang sebagai kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh
individu siswa setelah lulus dari sekolah.
C. MACAM – MACAM KECERDASAN GANDA
Gardner
(1983) berhasil mengidentifikasi tujuh macam kecerdasan, yang kemudian dikenal
sebagai kecerdasan ganda (Multiple Intelligence). Ketujuh jenis kecerdasan
tersebut adalah:
1. Kecerdasan musical
Gardner
menyebut kecerdasan musical ini dengan istilah musical/ rhythmic
intelligence. Kecerdasan musical (KM)
adalah kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasi musik. Kemampuan ini
meliputi menyanyi, bersiul, memainkan alat-alat musik, mengenal pola-pola nada,
membuat komposisi musik, mengingat melodi, memahami struktur dan irama musik.
Gardner telah mengidentifikasi bahwa
inti dasar KM musical meliputi aspek irama, pola titinada, harmoni, dan
timber, tetapi dia segera mengusulkan adanya kekuatan emosional misterius dari
musik. Dia menunjukkan beberapa fakta untuk mendukung teorinya bahwa kemampuan
musikan berfungsi seperti sebuah intelegensi, yakni apa yang oleh composer
disebut sebagai logical musical thinking
dan musical mind (101-2). Kecerdasan musik merupakan kecerdasan yang paling
awal berkembang dalam diri manusia (Grow, 2005).
2.
Kecerdasan Kinesthetic
Jenis kecerdasan ini berkaitan dengan
pengendalian gerakan badan. Pengenalian gerakan badan ini terletak di korteks
motoris dengan setiap belahan otak
mendominasi atau mengendalikan gerakan badan di sisi yang berlawanan (Gardner,
1983). Orang yang cerdas secara kinesthetic akan lebih mudah menirukan dan
menciptakan gerakan. Seorang olahragawan yang cerdas kinesthetic akan dapat
menyelesaikan dan mencari alternatif gerakan. Penyelesaian gerakan tentu
berbeda dengan penyelesaian persamaan matematika, sehingga dalam hal ini orang
yang cerdas gerak badan boleh jadi tidak cerdas secara matematik dan
sebaliknya.
3.
Kecerdasan logical/mathematical
Kecerdasan ini ditandai dengan
kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan angka-angka dan bilangan, berpikir
logis dan ilmiah, adanya konsistensi dalam pemikiran.. Seseorang yang cerdas
secara logika-matematika seringkali tertarik dengan pola dan
bilangan/angka-angka. Mereka belajar dengan cepat operasi bilangan dan cepat
memahami konsep waktu, menjelaskan konsep secara logis, atau menyimpulkan
informasi secara matematik. Kecerdasan ini amat penting karena akan membantu
mengembangkan keterampilan berpikir dan logika seseorang. Dia menjadi mudah
berpikir logis karena dilatih disiplin mental yang keras dan belajar menemukan
alur piker yang benar atau tidak benar. Di samping itu juga kecerdasan ini
dapat membantu menemukan cara kerja, pola, dan hubungan, mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, mengklasifikasikan dan mengelompokkan,
meningkatkan pengertian terhadap bilangan dan yang lebih penting lagi
meningkatkan daya ingat.
4. Kecerdasan visual/spatial
Kecerdasan
ini ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk melihat secara rinci gambaran
visual yang terdapat di sekitarnya. Seorang seniman dapat memiliki kemampuan
persepsi yang besar. Bila mereka melihat sebuah lukisan, mereka dapat melihat
adanya perbedaan yang tampak di antara goresan-goresan kuas, meskipu orang lain
tidak mampu melihatnya. Dengan mengamati sebuah foto, seorang fotografer dapat
membuat analisis mengenai kelemahan atau kekuatan dari foto tersebut seperti
arah datangnya cahaya, latar belakang, dan sebagainya, bahkan mereka dapat
memberi jalan keluar bagaimana seandainya foto itu ditingkatkan kualitasnya.
Kecerdasan ini sangat dituntut pada profesi-profesi seperti fotografer,
seniman, navigator, arsitek. Pada orang-orang ini dituntut untuk melihat secara
tepat gambaran visual dan kemudian member arti terhadap gambaran tersebut.
5. Kecerdasan verbal/linguistik
Orang-orang
yang memiliki kecerdasan ini memiliki kemampuan untuk menyusun pikirannya
dengan jelas. Mereka juga mampu mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata
seperti berbicara, menulis, dan membaca. Orang dengan kecerdasan verbal ini
sangat cakap dalam berbahasa, menceriterakan kisah, berdebat, berdiskusi,
melakukan penafsiran, menyampaikan laporan dan berbagai aktivitas lain yang
terkait dengan berbicara dan menulis. Kecerdasan ini sangat diperlukan pada
profesi pengacara, penulis, penyiar radio/televisi, editor, guru.
6. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan
ini berkait dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang harus dapat memperkirakan
perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan teman interaksinya,
kemudian memberikan respon yang layak. Orang dengan kecerdasan Interpersonal
memiliki kemampuan sedemikian sehingga terlihat amat mudah bergaul, banyak
teman dan disenangi oleh orang lain. Di dalam pergaulan mereka
menunjukkan
kehangatan, rasa persahabatan yang tulus, empati. Selain baik dalam membina
hubungan dengan orang lain, orang dengan kecerdasan ini juga berusaha baik
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perselihanan
dengan orang lain. Kecerdasan ini amat penting, karena pada dasarnya kita tidak
dapat hidup sendiri (No man is an Island). Orang yang memiliki jaringan sahabat
yang luas tentu akan lebih mudah menjalani hidup ini. Seorang yang memiliki
kecerdasan “bermasyarakat” akan mudah menyesuaikan diri, menjadi orang dewasa
yang sadar secara sosial dan berhasil dalam pekerjaan
7. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan
intrapersonal diperlihatkan dalam bentuk kemampuan dalam membangun persepsi
yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan kemampuan tersebut dalam membuat
rencana dan mengarahkan orang lain
8. Kecerdasan naturalistik
Keahlian
mengenali dan mengkategorikan spesies-flora dan fauna di lingkungannya. Para
pecinta alam adalah contoh orang tergolong sebagai orang – orang yang memiliki
kecerdasan ini.
Konsep
kecerdasan ganda (Multiple Intelligence) merupakan kritik terhadap Psychometric
yang biasa digunakan untuk mengukur kecerdasan manusia yang hanya bertumpu pada
kekuatan otak kiri manusia. Selama ini pengukuran kecerdasan hanya pada aspek
kuantitatif (logical) dan verbal. Manusia yang memiliki skor rendah berdasarkan
tes tersebut dianggap memiliki tingkat kecerdasan rendah atau biasa disebut IQ
(intelligence quotion) rendah. Pengukuran kecerdasan dengan IQ dalam
perkembangannya dianggap tidak representatif, karena ada banyak fakta manusia
dengan IQ rendah tetapi ternyata dalam hidupnya lebih sukses daripada orang
yang mempunyai tingkat IQ tinggi. Orang dengan IQ yang pas-pasan ternyata dapat
mempunyai keahlian yang hebat dalam bidang-bidang tertentu, seperti ahli
melukis, ahli olah raga, ahli menyanyi, dan lain-lain. Kekuatan yang mendorong
tes-tes kecerdasan ganda (Multiple Intelligence) adalah bahwa tes-tes yang
biasa dilakukan inkonsisten terhadap teori-teori ilmiah besar yang mapan.
kecerdasan ganda (Multiple Intelligence) bukanlah suatu domain atau disiplin
ilmu tersendiri. Konsep kecerdasan ganda (Multiple Intelligence) merupakan
suatu jenis konstrak baru, tetapi kecerdasan ganda (Multiple Intelligence)
tidak sama dengan style atau gaya pembelajaran, gaya kognitif, atau gaya
bekerja (Gardner, 1995).
Kecerdasan
ganda (Multiple Intelligence) sebagai suatu konsep baru berdampak pada
pembuatan desain dan kurikulum sekolah. Teori kecerdasan ganda (Multiple
Intelligence) menganjurkan bahwa ada
beberapa kecerdasan manusia yang relatif
independen dan dapat dijadikan mode dan dikombinasikan dalam
keserbaragaman cara agar sesuai dengan masing-masing individu dan budaya.
Independensi masing-masing jenis kecerdasan ini dapat ditunjukkan pada kasus
orang tidak dapat menguasai matematika, tetapi dia amat cepat membuat atau
memahami arti keindahan sebuah lukisan atau komposisi lagu. Kasus lainnya,
seorang yang tidak dapat memiliki kemampuan verbal dan spatial tetapi sangat
cerdas dalam gerak/kinesthetik. Dalam diri manusia mungkin terdapat satu, dua,
tiga atau lebih jenis kecerdasan yang menonjol. Jenis kecerdasan ini meungkin
selanjutnya berkaitan dengan learning style dan life style.
D. KECERDASAN GANDA DAN PERUBAHAN PARADIGMATIK
PEMBELAJARAN
Teori
kecerdasan ganda (Multiple Intelligence) melahirkan suatu paradigma baru dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Pertama, perubahan pola pikir para guru.
Pola pikir yang dimaksud dalam hal ini adalah para guru harus mengubah cara
berpikir bahwa di dalam kelas tidak ada siswa yang bodoh, apalagi beranggapan
bahwa sebagian siswa cerdas, sebagian sedang-sedang saja, dan sebagian lainnya
tidak cerdas. Dengan kata lain, guru harus memandang bahwa pada dasarnya semua
siswa adalah cerdas, cerdas dalam aspek yang berbeda-beda. Kedua, perubahan desain dan strategi
pembelajaran. Berdasarkan asumsi bahwa setiap siswa mempunyai jenis kecerdasan
yang berbeda, maka guru perlu membuat desain pembelajaran yang variatif. Desain
pembelajaran yang variatif dimaksudkkan untuk memberi ruang kepada siswa dengan
cara belajar yang berbeda. Ada siswa yang mudah belajar dengan cara melihat dengan komposisi warna-warna
tertentu, ada yang mudah menangkap dengan cara memberikan gerakan-gerakan, ada
yang dapat dengan mendengar atau hanya dengan abstraksi saja.
Sebagai sebuah konsep baru, aplikasi
teori kecerdasan ganda di kelas masih dalam proses eksploratif. Masing-masing
guru dapat menerapkannya dengan berbagai cara. Menurut Armstrong (2004) belum
ada petunjuk standar yang harus
diikuti,
gagasan-gagasan yang dikumukakan oleh para ahli selama ini barulah sebatas
usulan, seperti Armstrong sendiri mengusulkan pembelajaran dilakukan secara
tematis dengan memperhatikan keunikan atau jenis kecerdasan yang menonjol pada
setiap anak..
E. FAKTOR –
FAKTOR PENTING DALAM IMPLEMENTASI TEORI KECERDASAN GANDA
Implementasi
teori kecerdasan ganda dalam aktivitas pembelajaran memerlukan dukungan
komponen-komponen sistem persekolahan sebagai berikut :
Orang tua
murid – Guru - Kurikulum dan fasilitas - Sistem penilaian
Komponen
masyarakat, dalam hal ini orang tua murid, perlu memberikan dukungan yang
optimal agar implementasi teori kecerdasan ganda di sekolah dapat berhasil.
Orang tua, dalam konteks pengembangan kecerdasan ganda perlu memeberikan
sedikit kebebasan pada anak mereka untuk dapat memilih kompetensi yang ingin
dikembangkan sesuai dengan kecerdasan dan bakat yang mereka miliki.
Guru
memegang peran yang sangat penting dalam implementasi teori kecerdasan ganda.
Agar implementasi teori kecerdasan ganda dapat mencapai hasil seperti yang
diinginkan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu :
Ø Kemampuan
guru dalam mengenali kecerdasan individu siswa
Ø Kemampuan
mengajar dan memanfaatkan waktu mengajar secara proporsional.
Ø Kemampuan
guru dalam mengenali kecerdasan ganda yang dimiliki oleh siswa merupakan hal
yang sangat penting. Faktor ini akan sangat menentukan dalam merencanakan
proses belajar yang harus ditempuh oleh siswa. Ada banyak cara yang dapat
dilakukan oleh guru untuk mengenali kecerdasan spesifik yang dimiliki oleh
siswa. Semakin dekat hubungan antara guru dengan siswa, maka akan semakin mudah
bagi para guru untuk mengenali karakteristik dan tingkat kecerdasan siswa.
Sistem
penilaian yang diperlukan oleh sekolah yang menerapkan teori kecerdasan ganda
berbeda dengan sistem penilaian yang digunkan pada sekolah konvensional.
Sekolah yang menerapkan teori kecerdasan ganda pada dasarnya berasumsi bahwa
semua individu itu cerdas. Penilaian yang digunakan tidak berorientasi pada
input dari proses pembelajaran tapi lebih berorientasi pada proses dan kemajuan
(progress) yang diperlihatkan oleh siswa
dalam mempelajari suatu keterampilan yang spesifik. Metode penilaian yang cocok
dengan sistem seperti ini adalah metode penilaian portofolio. Sistem penilaian
portofolio menekankan pada perkembangan bertahap yang harus dilalui oleh siswa
dalam mempelajari sebuah keterampilan atau pengetahuan.
H. PENUTUP
Setiap
individu memiliki potensi yang unik yang harus dikembangkan menjadi kompetensi.
Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mengembangkan potensi
individu menjadi kompetensi. Manusia, pada dasarnya, memiliki beberapa jenis kecerdasan yang
menonjol. Howard Gardner, seorang pakar psikologi dari Harvard University,
mengemukakan delapan jenis kecerdasan yang meliputi kecerdasan:
· Bahasa
· Matematis logis
· Spasial
· Musikal
· Kinestetis tubuh
· Interpersonal
· Intrapersonal
· Naturalis
Dalam
mengimplementasikan teori kecerdasan ganda di sekolah, ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan yaitu : masyarakat dan orang tua, guru, kurikulum, fasilitas
pembelajaran dan sistem penilaian http://aminatuzzuhriyamecca.blogspot.com/2013/04/teori-kecerdasan-ganda-dan-penerapannya.html
Prinsip Pembelajaran di Sekolah Dasar
Sudut
Pembelajaran IPS di Kelas 3 SD, 'Tidak harus teori dan hafalan, namun
menggunakan media kertas lipat dapat lebih menarik perhatian, dan menyenangkan
bagi anak.
Pembelajaran
di SD hendaknya memperhatikan empat prinsip 1) prinsip latar belakang, adalah
keadaan dimana siswa telah mengetahui hal lain secara langsung atau tidak
langsung dengan bahan yang akan dipelajari 2) prinsip belajar sambil bekerja
sangat penting karena pengalaman yang diperoleh melalui bekerja tidak mudah
dilupakan 3) prinsip belajar dan bermain, penting karena bermain merupakan
keaktifan siswa yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan. Suasana
seperti ini akan mendorong siswa untuk belajar lebih giat 4) prinsip belajar
keterpaduan, mengharapkan agar guru dalam menyampaikan materi hendaknya
mengaitkan antara materi yang satu dengan materi yang lain, baik dalam satu
bidang studi maupun dengan bidang studi lainnya. Pemaduan konsep dapat membuat
materi pelajaran lebih bermakna (Depdikbud, 1994).
Salah satu contoh strategi
pembelajaran yang digunakan adalah strategi Contektual Teaching and learning.
dan terkait dengan Pendidikan Berorientasi Kecakapan hidup (life skill)
terutama pada mata pelajaran IPS .Beberapa gagasan serta kebijakan pemerintah
yang mendasari Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah antara
lain mengenai Empat Pilar Pendidikan yaitu belajar untuk mengetahui (learning
to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi diri
sendiri/mandiri (learning to be), belajar untuk kebersamaan (learning to life
together).
Dalam pembelajaran Pendidikan IPS,
manajemen sumber belajar sangat penting sehingga alternatif pemilihan materi
ajar lebih bersifat strategis dan menghindari text book thinking. Sesuai dengan
metodologi pengajaran, pendidikan IPS dapat ditampilkan dalam kombinasi
pembelajaran berbasis inkuiri, problematika, kontribusi, dan etos kerja aktual.
Hal tersebut dapat direalisasi dengan menggunakan Model Pembelajaran Tematik
Pembelajaran Tematik sebagai suatu konsep merupakan pembelajaran yang
melibatkan beberapa pokok bahasan, sub pokok bahasan, atau beberapa bidang
studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Dengan pendekatan Tematik siswa
akan memahami konsep yang dipelajari
melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah
dipahami sebelumnya. http://murnikumaulid.blogspot.com/2014/09/prisip-pembelajaran-di-sekolah-dasar.html
Pembelajaran
Tematik dengan Permainan Dakon
Pembelajaran
di SD khususnya pada kelas tematik atau rendah, memang memerlukan tips atau
trik dalam pelaksanaan pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahwa pada usia SD
tersebut anak didik masih diliputi sifat kekanak-kanakan atu masih suka
bermain. Sehingga, alangkah baiknya dalam pelajaran kita menggunakan metode
education game (game pendidikan) yang fungsinya untuk memancing siswa dalam
belajar, artinya bermain sambil belajar bukan belajar sambil bermain misalnya
saja guru bisa menggunakan permainan tradisional sebagai media pembelajaran
yaitu salah satunya yang saya gunakan adalah dakon.
Penerapan
pembelajaran tematik dengan Permainan dakon bisa diterapkan dalam mata
pelajaran matematika yang di kaitkan dengan mata pelajaran lainnya yaitu mata
pelajaran SBK, PKn, IPS yang sesuai dengan tema. Pada mata pelajaran SBK, PKn,
IPS ada salah satu SK dan KD-nya mengenai kebudayaan sedangkan dakon itu
sendiri merupakan suatu kebudayaan orang jawa dalam konteks permainan dan
permainan dakon dapat meningkatkan pemahaman dan kecerdasan siswa dalam
menghitung bilangan penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian terutama
perkalian dan pembagian untuk siswa kelas II sekolah dasar.
8. Pembelajaran yang mengaktifkan, menjadi
kreatif dan menyenangkan (PAKEM)
Pembelajaran
PAKEM mempunyai ciri-ciri atau karakteristik antara lain adalah :
1. Aktif
Ciri
pertama pembelajaran model PAKEM adalah aktif. Maksudnya pembelajaran model ini
memungkinkan peserta didik berinteraksi secara aktif dengan lingkungan,
memanipulasi obyek-obyek yang ada di dalamnya dan mengamati pengaruh dari
manipulasi obyek-obyek tersebut. Dalam hal ini guru pun terlibat secara aktif,
baik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajarannya.
2. Kreatif
Ciri
kedua pembelajaran model ini adalah kreatif. Maksudnya pembelajarannya
membangun kreativitas peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungan, bahan
ajar, dan esame peserta didik, utamanya dalam menghadapi tantangan atau
tugas-tugas yang harus diselesaikan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, guru pun
dituntut ntuk kreatif dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran model PAKEM
ini.
3. Efektif
Ciri
ketiga pembelajaran model ini adalah efektif. Maksudnya, dengan pembelajaran
yang aktif, kreatif, dan menyenangkan dapat meningkatkan efektivitas
pembelajaran, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar
peserta didik.
4. Menyenangkan
Ciri
keempat pembelajaran model ini adalah menyenangkan. Maksudnya, pembelajaran
model PAKEM dirancang dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan diharapkan dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik. Dalam kaitan ini, Rose and Nicholl (2003)
mengatakan bahwa pembelajaran yang menyenangkan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
Ø Menciptakan lingkungan tanpa stress,
lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namun harapan untuk sukses
tetap tinggi.
Ø Menjamin bahwa bahan ajar itu relevan. Anda
ingin belajar ketika Anda melihat manfaat dan pentingnya bahan ajar.
Ø Menjamin bahwa belajar secara emosional
adalah positif, yang pada umumnya hal itu terjadi ketika belajar dilakukan
bersama dengan orang lain, ketika ada humor dan dorongan semangat , waktu rehat
dan jeda teratur, serta dukungan antusias.
Ø Melibatkan secara sadar semua indera dan juga
pikiran otak kiri dan otak kanan.
Ø Menantang peserta didik untuk dapat berpikir
jauh ke depan dan mengekspresikan apa yang sedang dipelajari dengan sebanyak
mungkin kecerdasan yang relevan untuk memahami bahan ajar.
Ø Mengkonsolidasikan bahan yang sudah
dipelajari dengan meninjau ulang dalam periode-periode yang relaks.
Menurut
Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) melalui bermain, semua aspek perkembangan
anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan
bererplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan
hal-hal baru. Melalui permainan anak-anak juga dapat mengembangkan semua
potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan
spiritual. Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi
anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk
kreatifitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri
sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa
(2005: 164) bahwa : “proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan
aktifitas dan kreatifitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan
pengalaman belajar”.
Pembelajaran
di kelas tidak hanya menggunakan teori dan ceramah saja, tetapi penggunaan
sumber dan alat belajar yang beragam dan bervariasi akan menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
2 Komentar
iya ms ini termasuk pembelajaran ya efektif dan menyenangkan..
BalasHapusnatasya indriyani
BalasHapusx.tkj3