Lelaki Tak Bertuan (7)





Ternyata perjalanan itu lumayan jauh, hingga lebih dari satu jam.  Ammar mengajak Susan ke sebuah cafe tempat nongkrong anak muda kekinian.  Belum terlalu penuh sih, tapi teringat ini malam Minggu. Banyak sekali pasangan yang menempati cafe itu. 


"Kenapa mis? Aneh yaa? Ini cafe masakannya enak banget, saya suka. Rasanya ini tempat yang pantas untuk mengajak makan guru saya, ibu kepala sekolah sekaligus dosen cantik yang lama saya rindukan selama ini. Susah saya nyarinya, bertahun-tahun . . .sejak tahun 2000 akhirnya baru bertemu" berondong Ammar lagi.


Susan yang biasanya supel bila bertemu murid, kolega atau teman gurunya, saat itu seperti mati gaya. Hanya bisa diam dan mengikuti kemauan Ammar. Malam itu,  seakan Ammar yang menjadi tuan rumahnya. Bak gadis muda, malam itu Ammar melayani Susan seakan dia adalah gadisnya. Matanya seakan tak pernah lepas dari Susan sekejap pun. Susan agak jengah, malu jika tahu umurnya jauh lebih tua dari Ammar.


"Mis tahu nggak, orang tahunya saya ini pendiam. Tapi kenapa ya bertemu mis lagi kok saya jadi cerewet sekali ya?" Tanya Ammar pada Susan.
"Entahlah, menurut kamu apa yang membuat kamu berubah mas?" Oh ya, Susan selalu membahasakan mas atau mbak untuk memanggil murid di sekolahnya. Jadi semua paham dengan sapaan Susan di sekolah kepada muridnya.


"Mis nggak pernah berubah. Masih cantik seperti 14 tahun lalu. Sayang mis pergi tanpa kabar sehingga semua murid yang diajarkan merasa kehilangan. Termasuk saya mis, baru itu punya guru matematika yang tegas tapi gaul kaya mis" Ammar blak-blakkan bicara. Susan hanya tersenyum, dan menganggap itu hanya pujian seorang murid, seperti yang selama ini diterimanya di sekolah.


"Bisa saja kamu mas, kamu nggak lagi ngegombal kan sama saya?" Ledek Susan.
"Nggak mis, saya serius. Waktu itu umur saya baru mau 17 tahun. Saya ingat mis bilang baru melahirkan enam bulan lalu saat mengajar di kelas kami. Terlihat seksi dengan badan semok seperti itu dan suara yang khas. Galak dan tegas, tapi cantik bikin saya gemas waktu itu Miss . ." Ammar seakan ngotot menjelaskan ke Susan. 


"Ah kamu, namanya masih menyusui ya masih semoklah. Apalagi sekarang tambah semok ya" Susan tak mampu menutupi malunya dengan keadaan badannya saat ini.
"Mis masih cantik, nggak berubah sama sekali. Bahkan tambah cantik" katanya mengulangi kembali. 


Entahlah Susan seperti menemukan semangat dan gairah baru. Gairah yang telah lama hilang, setelah Faisal suaminya menikah lagi, dan pernikahan keduanya terasa garing. Rumah tangga yang selama ini dipertahankan Susan, adalah demi ketiga jagoannya. Jadi hubungan keduanya tak lebih hanya formalitas adanya. Selama ini, Susan melarikan keadaan rumah tangganya dengan makan dan workaholic menjadi pekerja keras. Padahal tak sedikit godaan para rekan guru laki-laki dan kepala sekolah di UPTD kecamatan sering menggodanya. Tapi Susan seakan tak pernah berminat mencari pelampiasan.


Malam itu terasa berbeda, Susan senang sekali mendengar semua kata-kata Ammar. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, si bungsu bertanya pulang jam berapa. Entahlah, kali ini Susan malas membalasnya. Tak terasa sudah dua jam mereka makan dan ngobrol di cafe itu. Semakin penuh dengan anak muda yang mulai memadati cafe itu. Susan mengajak Ammar pulang, tidak enak sudah jam 9 malam ternyata.


Dengan berat hati Ammar mengiyakan. Rasanya masih ingin memandang Susan gurunya malam itu, dan berbicara banyak hal yang selama ini dia rasakan. Susan tidak pernah tahu bila Ammar kehilangan sosok gurunya walau hanya sebentar mengajar di kelasnya. Susan hanya menganggap Ammar adalah muridnya, tidak lebih. Terlebih 14 tahun perbedaan usia mereka, wajar jika Susan menganggap murid atau seperti adik lelakinya. Padahal Ammar ingin lebih dari itu.


Postingan ini diikutsertakan dalam One Day One Post bersama Estrilook Community'.

Posting Komentar

1 Komentar