Pernah mengalami menyekolahkan anak nggak, Mak? Seperti aku yang dulu rasanya bisa menyekolahkan anak walau di negeri dan dekat saja sudah bersyukur. Gimana dengan, Emak?
Dulu, waktu Abang sulung umur 4 tahun, selalu merengek untuk minta disekolahkan. Tapi, karena saat itu keuangan keluarga sedang morat-marit, aku memberinya pengertian untuk bersabar. Alhamdulillah mengerti, walau dalam hati sediih sekali. Aku tahu persis, sulungku ini pembelajar type sekilas, audiovisual. Cepat menangkap apa yang disampaikan dan dia dengar.
Sejak umur 1,5 tahun aku sudah mendidiknya untuk bisa membaca dan berhitung. Tinggal menulisnya yang masih harus terus diasah. Namun, begitu mamah meninggal di bulan Januari saat Abang sulung empat tahun setengah, papah menawarkan untuk menyekolahkan anakku ini untuk mengisi kesibukannya sepeninggal istri tercintanya itu.
Aku tak mampu menolak selain tidak tega. Juga menghentikan rengekan sulungku yang selalu ingin sekolah seperti teman-teman bermainnya. Sekolah hanya sampai bulan Mei saja sudah membuat sulungku bosan. Selain sudah menguasai membaca dan berhitung, menulispun sudah berproses menuju baik. Sehingga dia cepat bosan, bila gurunya mengulang- ulang lagi pelajaran kepada teman-teman nya di kelas. Padahal posisi dia masih TK Nol Kecil.
Akhirnya sulung ngadat untuk sekolah lagi, dan memintaku untuk bisa ke SD seperti teman-teman nya juga. Padahal? Oh, No! Jenjang TK Nol Besar belum juga dilewati. Akhirnya kami menyerah, alhamdulillah Allah berikan rezeki baginya untuk bisa masuk ke SD negri swasta waktu itu Bani Saleh di Bekasi. Pertimbangan ku, ada tambahan menghafalkan Al-Qur'an.
Bahagianya, Abang sulung bisa melewati sampai kelas dua SD dengan selamat, walau umurnya masih anak bawang. Hafalan Al-Qur'an pun bisa dihadapinya dengan enjoy. Saat itu aku pasrahkan pada guru kelasnya, yang penting dia bisa mengikuti pelajaran dan tidak bosanan.
Malang tak dapat diraih, kami harus hijrah ke Semarang. Itupun dia tak langsung bisa sekolah. Menunggu keajaiban rezeki dulu beberapa bulan baru bisa kami sekolahkan di SD Negri Purwoyoso. Tidak ada bayaran SPP tiap bulan, hanya uang pangkal saja di awal beberapa ratus ribu. Saat itu sudah ada dana BOS dari pemerintah.
Buatku sangat ketolong sekali. Si Tengah juga kumasukkan di kelas 1 pada waktu bersamaan. Jadi, mereka berdua bisa bareng berangkat ke sekolah, tanpa harus kuantar. Biaya hidup sambil menyekolahkan tiga anak di Semarang saat itu cukup meringankan beban ku. Hanya lima ratus ribu rupiah aku bisa berhemat untuk ketiganya bisa sekolah.
Ya, bungsu juga jadi ikutan minta sekolah melihat abang-abang nya dia iri. Jadilah dia masuk TK Purwoyoso dekat sekolah abangnya.
Alhamdulillah saat Abang sulung kelas 4 SD kami atas kehendak Allah bisa pulang ke Bekasi kembali. Dengan modal keuangan pas-pasan untuk pulang, kami baru bisa menyekolahkan ke-3 nya setelah aku mendapat pekerjaan mengajar dua bulan setelah kepulangan kami, Agustus 2003. Kembali mereka bertiga masuk di SD negri, bungsu juga masuk di kelas 1 SD walau umurnya 5 tahun 4 bulan saat itu.
Jarak kelahiran yang berdekatan membuat mereka seperti teman, sehingga ketika yang dua sekolah bungsuku kehilangan teman bermain dan ingin juga segera sekolah SD seperti abang-abang nya. Alhamdulillah walau rata-rata masuk pada umur yang belum pas untuk sekolah di SD, namun ketiganya berhasil melewati dengan lancar. Aku sendiri yang mendidik mereka dan memahami pelajaran sesulit apapun kata mereka.
Masuk SMP-pun aku memilih negeri masih dengan keterbatasan biaya. Dulu untuk masuk negri harus test, jadi dua bulan setelah ujian sekolah mereka, aku sendiri yang melatih untuk bisa menghadapi test masuk SMP negeri tersebut. Enaknya jadi guru, aku bisa mengajar sendiri anak-anak ku untuk belajar.
Pertimbangan ku adalah sekolah yang terdekat dari rumah adalah, satu hemat ongkos, kedua kalau ada apa-apa mudah pengawasannya. Bisa terjangkau waktuku sambil mengajar. Alhamdulillah sampai mereka lulus SMP, tidak ada kendala berarti, bersyukur di saat sulit ketiganya begitu memahami keadaanku dan tak menuntut banyak seperti anak-anak lainnya.
Untuk SMA-nya, hanya Abang sulung yang masuk negeri, sedangkan adik-adik nya memilih SMK swasta karena ingin langsung bisa daftar kerja. Aku termasuk orang tua yang demokratis mendukung kemanapun tujuan mereka, selagi bisa dipertanggungjawabkan oleh ketiganya. Aku lebih menekankan kesadaran, bahwa kami tinggal berempat saja. Suka tidak suka, mau tidak mau, harus selalu bersyukur dan mengerti keadaanku sebagai single fighter dalam rumah tangga ini.
Konsepnya tetap sama, SMAN dan SMK swasta pun yang dekat dengan rumah. Pertimbangannya masih sama. Apalagi, bila ambil raport aku juga sebagai guru pasti melakukan hal yang sama di tempat mengajar ku. Pilihannya adalah, mengambil sebelum atau sesudah jadwal pembagian raport sekolahku. Untungnya karena sudah sekian tahun mengajar di Bekasi, teman-teman yang mengajar anakku bisa memahami keadaanku.
Kini masa itu sudah berlalu, mereka sudah mulai menyelesaikan studi S-1 nya hingga anak kedua. Tinggal bungsuku yang sedang menempuh semester dua mau naik ke-3. Itupun sambil bekerja, bungsu mengambil kelas karyawan hanya hari Sabtu saja belajarnya.
Aku bisa membuktikan, bahwa sekolah ditempat manapun yang penting adalah anak dan kuatnya orang tua. Sejelek apapun keadaan sekolah, jika anak itu bagus tetaplah bagus hasilnya. Artinya mereka kulatih belajar untuk mereka bukan untuk sekolah. KESADARAN adalah hal utama meraih keberhasilan, sehingga dengan atau tanpa pengawasan orang tua anakku tetap bisa berprestasi di sekolahnya.
Kini aku tinggal menatap bangga dan bersyukur, Allah berikan aku kekuatan selama menyekolahkan mereka. Keyakinan atas miracle rezeki menurut hitungan Allah lebih utama, daripada ketakutan akan masa depan mereka. Semoga menginspirasi.
0 Komentar