Memori: Melewati Pandemi Tanpa Drama

18 bulan melewati pandemi bukanlah hal mudah yang bisa kami lewati bersama keluarga. Secara logika dengan anak-anak sudah besar, tentu belum ada pengeluaran berarti. Tapi, bukan seperti itu hitungan pada praktiknya. Namanya berkeluarga pasti ada saja yang harus kita keluarkan.

Usaha advertising suami sempat oleng, begitu juga Bimbel (Bimbingan Belajar) yang sudah berjalan sejak 2004 akhirnya terjun bebas. Dengan banyak faktor, dari alasan belajar daring, motivasi berkurang, orang tua berkurang penghasilan, dan masih banyak lagi. Alhamdulillahnya penerbitan, dan jualan online kami masih berjalan walau tidak seheboh sebelumnya, paling tidak untuk harian cukup lumayan. Selagi masih terus berusaha selalu yakin ada jalannya.



Yang tak bisa ditutupi adalah tagihan-tagihan yang masih berjalan, pajak-pajak kendaraan cukup lumayan besar. Perhitungan kami, pertengahan tahun depan segala cicilan besar baru selesai. Belum lagi musibah demi musibah menimpa kami keluarga besar, juga si bungsu yang sempat kecelakaan tunggal, diberhentikan bekerja saat memiliki cicilan motor syariah 2 juta sebulan. Itu adalah perjuangan yang lumayan berat untukku bertahan sebagai istri, ibu, dan ratunya keluarga mengatur keuangan.

Untuk kesehatan Alhamdulillah kami tidak memiliki masalah yang berarti, karena sejak Agustus 2019 sampai hari ini, kami back to nature. Ya sejak diriku menjadi therapis 2018 dan di 2019nya guruku yang membimbing kami untuk memiliki bekal untuk mengobati diri sendiri, keluarga, dan orang lain, membekali CUMENG Vinonny melengkapi teknik the POST (The Power Of self Therapy) yang dikenal dengan Tapping. Selain menjaga keluarga kami dari terpaan badai virus Covid-19, juga bisa membantu orang lain yang membutuhkan teknik ini bukan hanya sekedar menghadapi kegalauan hidup, juga kepasrahan kepada jalannya takdir sang Maha.

Bukan berarti kami kebal anti virus. Tidak! Sejak mereka kecil aku sudah membiasakan mereka untuk tidak menganggap apapun penyakit, berat. Semua kami anggap kecil dan selalu berkata TIDAK APA-APA. Ditambah sejak 2013 kami sudah membuang mindset dokter minded untuk hilang dari pikiran secara bertahap. Sulung sempat dua kali harus isolasi mandiri karena berhadapan dengan rekannya yang divonis terpapar. Suami juga berhadapan langsung dengan kakak sulungnya yang ternyata imunnya ngedrop parah dan langsung diisolasi di RS.

 

Aku segera sigap untuk memberikan therapy tapping untuk mengatasi masalah rasa, ketakutan, dan kekhawatiran dengan tapping. Kedua CUMENG, madu, dan VCO (virgin coconut oil) untuk mengatasi virusnya. Alhamdulillah lumayan ampuh mengatasi. Nggak perlu berminggu-minggu paling lama 5 hari, kami, sudah pulih. Lumayan irit, pengeluaran kesehatan kami di masa pandemi ini, di saat yang lain sibuk jor-joran dengan vitamin, mengatasi kekuatan imun. Banyak sudah rekan, pasien, dan keluarga yang sudah kami bantu. Untuk menjaga di 18 bulan ini, keluarga inti melarang untuk mendekati RS, klinik, atau puskesmas. Rapid test, PCR, atau apapun pendukungnya semua awalnya kuhindari. Di usiaku yang sudah setengah abad tahun 2021 ini, membuat semua di dalam rumah ini peduli terutama karena aku perempuan satu-satunya di rumah.

Tapi aku harus menyerah, ketika sekolah tempatku mengabdi mensyaratkan rapid test dan Vaksin untuk bisa mengajar di tahun ajaran baru bulan Juli lalu. Juga jelang keberangkatan aku umroh bersama suami, serta mengawal jamaah yang memilih berangkat bersama kami dan team. Vaksin tak dapat kuhindari. Doaku, Allah tahu apa yang ada di hatiku, juga kami sekeluarga.

Lalu apa hubungannya dengan keterpurukan kami dalam hal ekonomi, ada banyak ganjalan yang membuatku harus berpikir salah dimana. Muhasabahku pada hatiku, berevaluasi pada keadaan carut marutnya keluarga besarku yaitu adik-adikku. Setelah kedua orang tua meninggal di tahun 2000, juga mbak sulung pada tahun 2020 Januari, semua berjalan sendiri dengan ego masing-masing. Aku hampir lelah menghadapi sikap adik-adik yang belum juga dewasa. Kami semua sudah tua, apa yang dicari dan diributkan? Seharusnya fokus pada keluarga kami masing-masing dan bersilaturahmi saling menguatkan. Bukan sibuk mencari salah.

Ganjalan kedua adalah sikap kepala sekolah dan struktural yang belum bisa merangkul kami para guru honor yang bukan guru tetap yayasan, serta ketidak adilan pembagian kerja, tugas, dan side job. Sejak 2012 mengabdi di sekolah ini dan berharap tempat terakhir tidak serta merta menautkan hati dan perasaan kami satu sama lain. Aku percaya rezeki sudah Allah gariskan pada setiap mahluknya. Bukan karena bekerja keras sebab bertambahnya rezeki, tapi ada faktor lain selain juga keberkahan. Saat oleng, suami juga patah sayapnya, gajiku terjun bebas, belum drama pemotongan transport hampir 500 ribu yang buatku cukup besar. Butuh kepasrahan dan TACMI. Apa ituu?

TACMI adalah terima, akui, cintai, maafkan, ikhlaskan. Sesakit apapun. Berkawan dengan musibah, ujian, sakit, itu adalah jalan terbaik segala solusi masalah. Memelihara sakit, dendam, emosi, amarah, apalagi EGO. Tidak hanya berimbas pada sempitnya rezeki kita, tapi juga menyakiti tubuh yang terus mempermasalahkan dan mencari salah. Tangan memang tak pernah menunjuk ke diri.sendiri sebagi evaluasi. Hal termudah adalah menyalahkan, mencari kambing hitam segala peristiwa. Itu kenapa butuh TACMI.

Alhamdulillah Allah mendengar segala doa. Tanpa harus berlama-lama, aku diberikan kekuatan untuk mengayunkan langkah mengunjungi adik-adik, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kuncinya senyum, dan sedikit waktu mengunjungi. Nggak usah berlama-lama yang membuat kami akan mengorek luka lama saling menyalahkan, akhirnya malah mengaburkan makna silaturahmi itu sendiri.

Di sekolah aku mengambil sikap diam dan mencoba menatap ke depan menghindari konflik. Total melibatkan Allah dalam dialog hati diri sendiri, di malam-malamnya yang sepi merajut puisi cinta untuk-Nya lebih dekat dan romantis lagi. Bangun tidur selalu berusaha tersenyum menatap optimis waktu yang akan dijalani. Tanpa kebosanan, tak kubiarkan waktu sedikitpun melenakan, mengayun angan. Membuat syaithon mudah menduduki hati dan pikiran dengan prasangka. Menyibukkan diri dengan terus belajar, bekerja, dan utamanya ibadah. Hal yang tak perlu ditinggalkan, bahkan dihindari.

Tahukah sahabat? Rasanya seperti melepas batu yang menggayut dengan berat di badan selama ini. PLONG! Segala langkah lebih ringan, dan terus yakin atas Kuasa-Nya. Kini hidup lebih ringan, tanpa drama dan kegundahan pikiran. Terus menyibukkan diri untuk bersyukur setiap hari. Bersabar setiap prosesnya dengan berusaha, berikhtiar. Setelah itu? Tawakal. Keyakinan akan indah pada waktunya selalu kupegang teguh setiap waktu. Karena Allah Maha Kun Fayakun, apa yang tak mungkin bagi manusia, mudah baginya.

 

Bio Narasi

Juli Dwi Susanti, M.Pd. Kecanduan menulis, sebagai therapy jiwa juga sedekah kebaikan. Berbagi pengalaman, dan perjalanan kehidupan. Dimulai dari JA Joeragan Artikel sebagai pembuka keberanian Kembali menulis yang tertunda saat umur 17th saat tulisan dimuat di Koran Suara Pembaharuan, dan mendapat apresiasi dari Bunda N.H Dini, novelis yang sangat menginspirasi. Memulai dari Antologi, berharap menelurkan tulisan solo tahun ini, aammiin doanya ya sahabat.

Guru dan Dosen Matematika, sejak 33th terjun di dunia Pendidikan. Menulis, Editor, Therapist, Organisatoris, Marketing, Mom Pebisnis, sebagai bagian dari hobi utama mengajar. Founder Penerbitan Nurul AmanahPublishing, sebagai bagian untuk membantu siapapun bisa menulis dengan mudah dan murah untuk portofolio pencapaian. Yuk bukukan naskahmu bersama kami. Hub Mis Juli 081398511932

 

Posting Komentar

0 Komentar